BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Agama islam pertama masuk ke
Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan, dll. Tokoh penyebar islam
adalah walisongo antara lain; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gresik
(Maulana Malik Ibrahim)
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M,
belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru
pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para
pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara
besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah
memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya
beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak,
Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran,
keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya
Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya
kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti
Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam
mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya
bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai,
tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke
Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan
lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk
pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai
daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam
menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin
banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam
Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang
sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan
dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan
pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi.
Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan
menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum
kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan
Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang
kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan ummat
Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin
beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam
Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit
pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana
Sejarah masuknya Awal Islam Sulawesi
2. Bagaimana Kerajaan
Islam di Sulawesi
3. Bagaimana Peninggalan sejarah
islam di Sulawesi
4. Bagaimana
Kedatangan Orang Melayu di Tanah Bugis
Makassar
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui Sejarah masuknya Awal Islam Sulawesi
2. Untuk mengetahui
Kerajaan Islam di Sulawesi
3. Untuk Mengetahui
Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
4. Untuk
mengetahui Bagaimana Kedatangan Orang
Melayu di Tanah Bugis Makassar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Awal Islam Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia,
sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi
ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula
yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut
catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke
Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah.
Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh
raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam
adalah Sultan Alaidin al Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng
Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada
ayahanda Sultan Alaidin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih
dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa
kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa
Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka.
Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri
Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar
datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan
Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun
oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke
Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.
B. Kerajaan Islam di Sulawesi
Pada abad ke 15 di Sulawesi berdiri beberapa
kerajaan, diantaranya dari suku bangsa Makasar (Gowa dan Tallo) dan Bugis
(Luwu, Bone, Soppeng dan Wajo). 2 kerajaan yang memiliki hubungan baik yaitu
kerajaan Gowa dan Tallo. Ibu kota kerajaannya adalah Gowa yang sekarang menjadi
Makasar. Kerajaan ini pada abad ke 16 sudah menjadi daerah islam. Masuk dan
berkembangnya Islam di Makasar atas juga datuk Ribandang (Ulama adat
Minangkabau). Secara resmi kerajaan Gowa Islam berdiri pada tahun 1605 M.
Raja-raja yang terkenal diantaranya :
1. Sultan Alaudin
(1605-1639 M) raja pertama Islam di Gowa-Tallo. Kerajaan ini adalah negara
maritim yang terkenal dengan perahu-perahu layarnya dengan jenis Pinisi dan
lImbo. Pada masa Sultan Alaudin berkuasa, Islam mengalami perkembangan pesat
yang daerah kekuasaannya hampir mencakup seluruh daerah Sulawesi. Ia wafat pada tahun 1939 M, setelah menjadi raja
selama 34 tahun dan digantikan putranya yang bernama Muhammad Said.
2. Muhammad Said
(1639-1653 M). Raja ini berkuasa selama 14 tahun.
3. Sultan hasanuddin
(1653-1669 M). Sultan ini sebagai pengganti dari Muhammad Saed. Pada masa
Sultan hasanuddin berkuasa, Gowa – Tallo mencapai puncak kejayaannya. Wilayah
kekuasaannya sampai ke pulau Selayar, Butung, Sumbawa dan Lombok. Ia berkuasa
selama 16 Tahun.
C. Peninggalan sejarah
islam di Sulawesi
1. Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu petantikan raja (hatu
pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu,
setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan
Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa
pem¬bentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu
andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai
sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas
batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan
yang bertuah
2. Mesjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun
1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu
berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim
(1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d] Andi Baso,
Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal
(asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran
tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang
terbuat dari kayu menyerupai singgasana dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk
di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada ruang tengah terdapat empat tiang
soko guru yang mendukung konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang
permanen dan diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam
babasa Makassar yang menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada
tahun 1300 Hijriah.
3. Makam Syekh Yusuf
Kompleks makam ini terletak pada
dataran rendah Lakiung di sebelah barat Mésjid Katangka. Di dalam kompleks ini
terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di
dalam cungkup terbesar, berbentuk bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi
Selatan. Puncak cungkup berhias keramik. Makam ini merupakan makam kedua.
Ketika wafat di pengasingan, Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau di¬makamkan
untuk pertama kalinya di Faure, Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada
pemerintah Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa.
Lima tahun sesudah wafat (1704) baru per¬mintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya
dibawa pulang bersama keluarga dengan kapal de Spiegel yang berlayar langsung
dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April 1705, tulang kerangka Syekh Yusuf
dimakamkan dengan upacara adat pemakaman bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya
dibangun kubah yang disebut kobbanga oleh orang Makassar.
Makam Syekh Yusuf mempunyai dua
nisan tipe Makassar, terbuat dari batu alam yang permukaannya sangat mengkilap.
Hal ini dapat terjadi karena para peziarah selalu menyiramnya dengan minyak
kelapa atau semacamnya. Sampai sekarang peziarah masih sangat ramai mengunjungi
tokoh ulama (panrita)dan intelektual (tulnangngasseng) yang banyak berperan
dalam perkembangan dan kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam lontarak "Riwayakna
Tuanta Salamaka ri Gowa7, Syekh Yusuf dianggap Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994:
85). la tokoh yang memiliki keistimewaan, seperti berjalan tanpa berpijak di
tanah. Dalam usia belia ia sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru
tarekat Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qa¬driyah. Wawasan
sufistiknya tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fanzuri yang
me-ngembangkan ajaran Wujudiyah dan Syekh Nuruddin ar-Raniri.
4. Benteng Tallo
Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng
dibangun dengan menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu
kurang. Luas benteng diper¬kirakan 2 kilometer Bardasarkan temuan fondasi dan
susunan benteng yang masih tersisa, tebal dinding benteng diperkirakan mencapai
260 cm.
Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa
benteng dan bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng
(bas¬tion) dan batu merah yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk
berbagai keperluan darurat, sehingga tidak tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi
itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja Tallo.
D. Kedatangan
Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar
Bardasarkan sumber-sumber yang telah
ditemukan, dapat dikatakan bahwa
gelombang emigran orang-orang Bugis Makassar ke Semenangjung Melayu melalui tiga priode. ,
Pertama berlangsung pada masa sebelum
kawasan Sulawesi Selatan memasuki
proses Islamisasi. Mereka itu sudah tersebar di berbagai tempat
semenangjung Sumatra, Malaka dan
Kalimantan yang menghubungkan kawasan-kawasan itu dengan rute perdagangan dengan Pusat Melaka, Kelompok
Bugis pada masa itu belum membentuk dirinya dalam suatu kekuatan militer,
mereka umumnya masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil sebagai pedagang antar pulau dan sebagai
nelayan. Itulah sebabnya mereka pada umumnya tinggal di kawasan pantai mereka dapat dikatakan kelompok the sea men atau orang laut.
Gelombang kedua terjadi padamasa
proses Islamisasi sedang berlangsung di
Sulawesi Selatan. Masa berlangsung Islamisasi itu berkaitan erat dengan gerakan politik yang si lancarkan
Kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya untuk
menundukkan kwasan-kawasan yang belum
masuk Islam dan sampai Islam diterima
masyarakat setempat konflik politik juga
masih berlangsung.
Gelombang ketiga berlangsung setelah
kerajaan Gowa dan Wajo jatuh di tangan VOC . Masa inilah merupakan
periode yang paling banyak terjadi
perpindahan orang-orang Bugis Makassar kesemenagjung Melayu. Perpindahan yang terjadi dalam gelombang
ini berbentuk kelompok yang besar .
Mereka tidak saja terdiri dari
masyarakat lapisan bawah tatapi
apat dikatakan terdiri dari smua lapisan
sosial
Dari ketiga gelombang yang disebutkan
di atas, gelombang terkhir inilah yang
paling menarik, masalahnya adalah karena
faktor pemindahan berkaitan erat dengan akibat langsung peperangan yang terjadi di kawasan Sulawesi Selatan.
Orang-orang Bugis Makassar yang termasuk
ke dalam gelombang yang terakhir
ini dipimpin langsung oleh kelompok
bangsawan. Dengan sisa-sisa kekuatan militer
dan kekayaan yang mereka miliki
kelompok bangsawan ini mengikuti pengikut pengikutnya atau rakyat yang meninggalkan kampung halamannya untuk merantau dengan
tujuan utamanya untuk melanjutkan perjuangan melawan kekuasaan
Belanda.Perjuangan dalam melawan kekuasaan Belanda itu dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain dengan melakukan gangguan pada rute perdagangan atau pelayaran Belanda di Selat Makassar, pantai
Ambon dan di Selat Malaka pantau Kaliman
tan yang starategis dan Kepulauan Riau. Tindakan mereka dikaitkan dengan “bajak laut”
Sejak kedatangan orang-orang Melayu
di kerajaan Makassar (Kerajaan Gowa) peranannya tidak hanya dalam perdagangan
dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan sosial budaya. Peranan
orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa
misalnya, menyebabkan Raja Gowa ke XII, Mangarai Daeng Pamatte Karaeng
Tunijallo membangun sebuah Mesjid di Kampung Mangallekana untuk kepentingan
para saudagar Melayu agar mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia
sendiri belum beragama Islam. Adanya perkampungan para saudagara Melayu
itu membuat struktur kekuasaan Kerajaan
Gowa dibantu juga oleh orang-orang
Melayu dan memegang peranan penting di
Istana Kerajaan Gowa. Hal itu dapat ditemukan dalam untaian kalimat sebagai berikut:
‘Kamilah orang-orang Melayu yang
mengajar anak negeri duduk berhadap hadapan dalam pertemuan adat, mengajar
menggunakan keris panjang yang disebut tatarapang, tata cara berpakaian dan
berbagai hiasan untuk para anak bangsawan
Dalam periode tahun .1546-1565 pada
masa raja Gowa ke 10, seorang keturunan Melayu berdarah campuran Bajo yang amat
terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang, yang juga dikenal dengan nama I
Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai sahbandar ke II Kerajaan Gowa, sejak
saat itu secara turun temurun jabatan Sahbandar berturut-turut dipegang oleh
orang Melayu sampai dengan Sahbandar Ince Husein, Sahbandar terakhir th 1669
ketika kerajaan Gowa mengalami kekalahan perang melawan VOC.
Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana dijabat pula oleh
orang-orang Melayu Incik Amin, juru tulis istana di zaman Sultan Hasanuddin
Raja Gowa ke XVI (1653-1669) adalah juru tulis istana yang terakhir dan amat
terkenal di zaman kebesaran Kerajaan Gowa. Sebuah karya tulisnya yang amat
indah berjudul : Syair Perang Makassar” mengisahkan saat-saat terakhir kerajaan
Gowa tahun 1669.
Salah satu sumbangan utama
orang-orang Melayu di Indonesia Timur, khususnya di Sulawesi ialah upayanya
dalam menyebarkan Agama Islam dan penyebaran
dan penyebaran Kebudayaan Melayu di Sulawesi. Pada tahun 1632 Rombongan
Migran Melayu dari Patani tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh
seorang bangsawan Melayu dari Patani bernama Datuk Maharajalela Turut serta dengannya kemanakannya suami
istri yang bergelar
Datuk Paduka Raja bersama istrinya
yang bergelar Putri Senapati, Raja Gowa memberinya tempat di sebelah selatan
Somba Opu, Ibu Kota Kerajaan Gowa, karena disana telah berdiri Perkampungan
Melayu asal Patani. Sejak saat itu Salajo diganti menjadi kampung Patani,
hingga sekarang.