Wednesday, July 12, 2017

KERAJAAN GOWA PADA MASA SULTAN HASANUDDIN

Sejak Sultan Hasanuddin naik tahta pada bulan November 1653, Sultan dihadapkan pada pergolakan. Pertempuran prajurit Kerajaan Gowa melawan Belanda di Buton terus berkobar, pertempuran ini dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Dalam serangan itu, benteng pertahanan Belanda di Buton berhasil direbut serta menawan sebanyak 35 orang Belanda.

Satu tahun lamanya, Sultan Hasanuddin mengendalikan pemerintahan, Mangkubumi Kerajaan Gowa Karaeng Pattingalloang wafat pada 15 september 1645. Beliau kemudian digantikan oleh putranya bernama Karaeng Karunrung. 

Belanda melihat, perang dengan Kerajaan Gowa telah banyak menelan biaya, demikian halnya di sektor perdagangan telah banyak mengalami kerugian. Belanda kemudian membuat siasat ingin damai. Pada tanggal 23 Oktober 1655 Belanda mengutus Willem Van den Berg dan seorang berkebangsaan Armenia bernama Choja Sulaeman untuk menghadap Sultan dan menyampaikan pesan Jenderal Maestsuyker. Perundingan itu berlangsung 28 Desember 1655 dimana tuntutan Belanda:
  • Orang-orang Makassar yang ada di Maluku boleh kembali ke  negerinya. 
  • Raja Gowa boleh menagih utang piutangnya di Ambon. 
  • Orang-orang tawanan dari kedua belah pihak harus diserahkan pada   pihak masing-masing. 
  • Musuh-musuh dari Belanda tidak akan menjadi musuh dari Kerajaan  Gowa. 
  • Belanda tidak akan mencampuri perselisihan diantara orang-orang Makassar. 
  • Belanda boleh menangkap semua orang Makassar yang didapati  berlayar di Perairan Maluku.
Tuntutan Belanda itu dinilai oleh Sultan sangat merugikan Gowa, karenanya ditolak. Sultan malah menantang perang, ia didukung oleh Mangkubuminya karaeng Karunrung, Karaeng Galesong, serta Karaeng Bontomarannu untuk unjuk kekuatan. Dari tantangan itu, Belanda juga meningkatkan kekuatannya sebuah armada bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh Mr. Johan Van Dam. Untuk mengelabui prajurit Gowa, semua armada langsung ke Ambon sebagai upaya untuk memancing amarah Prajurit Gowa. Setelah itu barulah mereka menyerbu Somba Opu

Bulan Juni 1666 terjadilah pertempuran hebat di perairan Somba Opu. Belanda mengirim sebanyak 22 kapal perang dengan kekuatan 1604 serdadu ditambah dengan 700 serdadu pembantu dari Jawa dan Madura, Ambon dan lainnya.

Ketika melakukan serangan ke benteng panakkukang, Belanda pura-pura menuju ke utara seolah-olah hendak menyerang benteng Somba Opu tempat kediaman Sultan. Serangan besar-besaran yang telah dilancarkan oleh Belanda itu, akhirnya pada 12 Juni 1668 Belanda berhasil merebut Benteng Panakkukang. Prajurit Kerajaan Gowa tidak tinggal diam, dipimpin langsung oleh Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu terus melakukan perlawanan. Pertempuran yang berlangsung selama 2 hari telah banyak menelan korban. Akhirnya kedua belah pihak sepakat melakukan gencatan senjata.

Setelah gencatan senjata, kedua belah pihak masing-masing menyusun strategi dan memperkuat armadanya, nafsu Belanda untuk menguasai Gowa maka di utuslah Speelman dari Batavia pada 24 November 1666 menuju Benteng Somba Opu. Mereka diperkuat dengan 21 kapal perang dan 600 tentara, didukung sekitar 400 pasukan pimpinan Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Ambon.

Armada Belanda tiba di Somba Opu pada tanggal 15 Desember 1666 dan keadaan Gowa semakin tegang, para pedagang pun menghentikan kegiatannya. Ketika utusan Speelman menghadap Sultan untuk menyampaikan tuntutan agar Sultan menyerah saja dan bersedia membayar ganti rugi ke pihak Belanda akibat perang terdahulu, ternyata tuntutan Spellman itu hanya taktik belaka untuk memulai peperangan.

Tapi Sultan Hasanuddin dengan berani menjawab : Bila kami diserang, maka kami mempertahankan diri dan kami menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami di pihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan kami. Pagi itu, sekitar Tgl 21 Desember 1666, Speelman mengibarkan bendera merah pertanda perang siap dimulai, dentuman meriam pun mulai menghantam benteng satu persatu, dan kemudian dibalas oleh prajurit Kerajaan Gowa. Semangat juang dari prajurit Gowa semakin berkobar, Armada perahu kecil yang disebut armada semut sekali-kali melakukan penyerangan terhadap kapal Belanda. Perlawanan yang gigih dari prajurit Gowa telah mampu memukul basis pertahanan Belanda.

Bulan Juni 1667 Speelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa pasukan Ternate Bacan dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan kapten Jongker. Dengan kekuatan dari Belanda itu, akhirnya pada tanggal 7 Juli 1667 setelah sekitar 7000 pasukan Kerajaan Gowa melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Belanda dan sekutunya. Empat hari kemudian, Belanda baru berhasil memasuki Perairan Kerajaan Gowa, tanggal 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi kapal-kapal Belanda dan Benteng Somba Opu di kepung.

Ketika Benteng Somba Opu di kepung, Sultan Hasanuddin dan Raja Tallo Sultan harun Al Rasyid yang langsung memimpin perlawanan itu. Beliau berada di barisan terdepan memimpin pasukan, disusul beberapa pasukan Tubarani seperti Karaeng Galesong, I Fatimah Daeng Takontu serta pembesar kerajaan lainnya. Para panglima perang di tebar di beberapa benteng pertahanan, pada tanggal 17 Agustus 1667 pagi, benteng Galesong diserang dengan meriam Belanda. Ketika lumpuh, Belanda lalu membakar gudang beras di Galesong dan Barombong. Perlawan yang digencarkan para Tubarani dengan membalas dentuman Anak Mariam Mangkasara membuat Belanda kocar-kacir, demikian halnya pasukan Arung Palakka berhasil dipukur mundur.

Atas serangan balasan itu, Speelman memperkuat pasukannya. 5 armada kapal perang didatangkan dari Batavia yang dipimpin komandan Kapten P. Dupon. Dari kekuatan itu Belanda lalu menyerang Benteng Barombong.

Tanggal 5 November 1667 Speelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya sudah payah, semangat tempur merosot, 182 orang serdadu dan 95 matros jatuh sakit, Pasukan Buton, Ternate, dan Bugis banyak diserang sakit perut, belum lagi yang mati di medan perang, Speelman minta lagi dikirim pasukan baru. Atas bantuan pasukan baru itu, anak benteng pertahanan satu demi satu direbut Belanda. Sultan Hasanuddin pun merasa sedih, karena yang dihadapi tak hanya musuh, tetapi juga dari sesama bangsa sendiri, yakni dari Bugis, Ternate, dan Buton.

Dalam kondisi demikian, datang perutusan Speelman agar Sultan bersedia berunding dan perangpun harus dihentikan. Atas pertimbangan yang arif dan bijaksana dari Sultan, akhirnya kedua belah pihak melakukan perundingan di Bungaya dekat Barombong, setelah beberapa hari dilakukan perundingan, akhirnya pada hari Jum’at 18 November 1667 tercapailah suatu kesepakatan yang ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Bungaya atau lazim disebut Capaya ri Bungaya.

Atas penandatanganan Perjanjian Bungaya itu, banyak pembesar Gowa tak setuju, seperti Karaeng Galesong, Karaeng Bontomarannu, Karaeng Karunrung, I Fatimah Daeng Takontu, juga raja dari negeri sekutu Gowa seperti dari Wajo, Mandar, dan Luwu. Mereka siap angkat senjata dan meneruskan perlawanan kapan dan dimana saja. Tanggal 5 Agustus 1668 Karaeng Karunrung menyerang Benteng Ujung Pandang tempat Speelman bermarkas, dalam serangan itu Arung Palakka nyaris tewas.

Menurut catatan Speelman, dalam pertempuran melawan Gowa, banyak orang Belanda yang mati dan terluka. Setiap hari 7-8 orang belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit, 5 dokter dan 15 pandai besi meninggal. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang sehat, dalam 4 minggu sebanyak 138 serdadu yang mati di Benteng Ujungpandang, dan 52 orang mati di atas kapal.

Tanggal 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu dikuasai oleh Belanda, Belanda meyita sebanyak 272 pucuk meriam termasuk Meriam Anak Mangkasara yang disita Speelman. Benteng Somba Opu kemudian di bumi hanguskan dengan ribuan kilo amunisi dan berhasil menjebol dinding benteng setebal 12 kaki. Ledakan itu membuat udara diatas benteng memerah dan tanah seperti gempa. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Semua istana yang ada di benteng dibumihanguskan akhirnya Benteng Somba Opu jatuh terhormat ke tangan Belanda.

Para pembesar kerajaan yang tak setuju atas Perjanjian Bungaya tak mau kalah, selamjutnya bertekad untuk melanjutkan perjuangan di Tanah Jawa dalam membantu perjuangan Raja Banten Sultan Ageng Tirtajasa dan Raja Mataram Raden Trunujoyo.
Pada masa pemerintahan Raja Bone VI, La Uliyo Botee Matinroe ri Itterung (1519 – 1544) dan Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna (1512-1548). Ulu Adae ri Tamalate yang terjadi pada Tahun 1540 ini merupakan perjanjian persahabatan antara Gowa dengan Bone. Pasal – pasal dalam Perjanjian ini melukiskan betapa indahnya persaudaraan antara Bone dengan Gowa, dua kerajaan terkemuka penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan. Namun masa damai antara keduanya hanya berlangsung selama 24 Tahun (1538 – 1562), sebelum terjadinya serangan militer pertama Gowa ke Bone pada tahun 1562 yang didahului dengan peristiwa sabung ayam 'Manu Bakkana Bone vs Jangang Ejana Gowa'. (lihat catatan : Manu') Sebagaimana perangnya yang luar biasa, masa perang Gowa Vs Bone berlangsung dari tahun 1562 – 1611 sampai tiba masanya Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) memerdekakan Bone-Soppeng dari Penjajahan Gowa, persahabatan yang dilalui Gowa dan Bone juga sangat luar biasa. Peristiwa pembukaan hubungan diplomatik pertama antara Gowa dan Bone (1538) bahkan diupacarakan dengan acara memperhadapkan senjata sakti kedua kerajaan, Lateariduni (kelewang arajang, senjata pusaka) Bone dan Sudanga (kelewang kalompoang, senjata pusaka) Gowa di Laccokong dimana Raja Gowa pertama kali menginjak Tana Bone. Kunjungan balasan Raja Bone, La Uliyo Botee ke Gowa inilah yang kemudian melahirkan "Ulu Adae ri Tamalate" yang bunyi perjanjiannya juga sangat luar biasa : 1. Narekko engka perina Bone, maddaungngi tasie naola Mangkasae, Narekko engka perina Gowa makkumpellei bulue' naoia to Bone.(Kalau Bone terancam bahaya musuh, maka berdaunlah lautan dilalui orang Makassar, kalau Gowa terancam bahaya musuh maka ratalah gunung dilalui orang Bone). 2. Tessinawa – nawa majaki, tessipatingarai kanna Bone Gowa, tessiacinnaiyangngi matasa pattola malampe.(Tidak akan saling berprasangka buruk, tidak akan saling menyerang, Bone-Gowa, dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri). 3. Iyyasi somperengngi Gowa, iyyasi manai ada torioloe, iyyasi somperengngi Bone, iyyasi manai ada torioloe'.(Siapa saja yang melayarkan bahtera Gowa, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini dan siapa saja yang melayarkan bahtera Bone, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini). 4. Niginigi temmaringngerang riada torioloe, mareppai urikkurinna, lowa – lowanna, padai tello riaddampessangnge ri batue tanana.(Siapa saja yang tidak mengingat amanat leluhur ini maka pecahlah periuk belanganya, negeri, seperti telur dihempaskan ke atas batu). Perjanjian ini saya anggap suatu perjanjian yang luar biasa, butir – butir perjanjian ini seandainya dilaksanakan oleh penerus takhta Gowa dan Bone, sejarah akan bercerita lain. Namun, kata banyak orang, perjanjian memang dibuat untuk dilanggar. Dan di banyak catatan lontaraq, akhirnya kitapun mendapati puluhan perjanjian yang mengiringi Ulu Adae ri Tamalate ini. Ada perjanjian yang disebut Ulu Kanayya ri Caleppa (Bugis : Ulu Adae ri Caleppa) sebagai buntut serangan militer keempat Gowa ke Bone (1565) yang berakhir dengan gencatan senjata. Perang yang dimenangkan oleh Bone tersebut kemudian diperbaharui lagi perjanjiannya lewat suatu kesepahaman bersama, yang oleh Gowa disebut Kana-kanayya iwarakanna Bone (Perjanjian di Utara Bone).Perjanjian – perjanjian lainpun terus berlanjut. Pihak Bone pun kemudian memprakarsai pembentukan triaple alliance, "Mattellumpocoe ri Timurung" (1572), antara Bone, Soppeng dan Wajo sebagai penyatuan kekuatan bugis mengantisipasi serangan Gowa yang semakin menggila ingin menjadi penguasa tak tertandingi di semenanjung barat dan timur Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengalaman pahit dari tahun ke tahun yang harus dilalui Bone akibat serangan militer Gowa dan gangguan militer Luwu, maka Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge didampingi oleh penasehat ulung kerajaan, Kajao Laliddong, berupaya memperkuat benteng pertahanan Bone untuk menghadapi kemungkinan serangan militer Gowa dan Luwu. Dengan pendekatan diplomatik La Tenrirawe Bongkangnge berhasil membentuk kekuatan bersama antara Bone, Soppeng dan Wajo, di Kampung Bunne Timurung, Bone Utara pada tahun 1572. Upacara pembentukan triple alliance tersebut dihadiri oleh delegasi dari masing – masing kerajaan dari Bone, Soppeng dan Wajo : Kerajaan Bone, diwakili langsung oleh rajanya La Tenrirawe Bongkangnge, pensehat kerajaan Kajaolaliddong dan pembesar – pembesar Kerajaan Bone lainnya, Kerajaan Wajo, dipimpin langsung oleh La Mungkace Touddamang Arung Matowa, Pillae, Cakkuridie, Pattolae, dan pembesar – pembesar Kerajaan Wajo lainnya, dan Kerajaan Soppeng, diwakili oleh La Mappaleppe Pong Lipue, Datu Soppeng Arung Bila, Arung Pangepae, dan Arung Paddanrenge".Tellumpoccoe ri Timurung menetapkan prinsip – prinsip kesepakatan sebagai berikut : 1. Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, siappidapireng riperi nyameng ; (Memperingati bagi mereka yang tidak mentaati kesepakatan, saling menegakkan jika ada yang tersungkur dan saling membantu dalam suka duka). 2. Tessibaiccukang, tessiacinnaiyang ulaweng matasa, pattola malampe, waramparang maega pada mallebang risaliweng temmallebbang ri laleng. (Tidak akan saling mengecilkan peran, tidak akan saling menginginkan perebutan takhta dan penggantian putera mahkota dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing – masing). 3. Teppettu – pettu siranreng sama – samapi mappettu, tennawawa tomate jancitta, tennalirang anging ri saliweng bitara, natajeng tencajie. Iya teya ripakainge iya riduai, mau maruttung langie, mawoto paratiwie, temmalukka akkulu adangetta, natettongi Dewata Seuwae . (Tidak akan putus satu – satu melainkan semua harus putus, perjanjian ini tidak batal karena kita mati dan tidak akan lenyap karena dihanyutkan angin keluar langit, mustahil terjadi. Siapa yang tidak mau diperingati, dialah yang harus diserang kita berdua. Walaupun langit runtuh dan bumi terbang, perjanjian ini tidak akan batal dan disaksikan oleh Dewata SeuwaE). 4. Sirekkokeng tedong mawatang, sirettong panni, sipolowang poppa, silasekeng tedong siteppekeng tanru tedong.(Saling menundukkan kerbau yang kuat, saling mematahkan paha, saling mengebirikan kerbau. Artinya mereka akan saling memberikan bantuan militer untuk menundukkan musuh yang kuat). 5. Tessiottong waramparang, tessipalattu ana parakeana.(Tidak akan saling berebutan harta benda dan berlaku bagi generasi penerus).Substansi kesepakatan perjanjian diatas menunjukkan bahwa ketiga kerajaan, Bone, Soppeng dan Wajo secara sadar membentuk pakta pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka. Dengan demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di kawasan Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu pada masa itu.Perjanjian "Mattelempoccoe ri Timurung" pun mengalami pasang surut kesepahaman diantara ketiga kerajaan tersebut hingga melahirkan lagi perjanjian – perjanjian kecil seiring perkembangan kekuasaan di semenanjung timur serta ekspansi yang luar biasa dari Kerajaan Gowa. Di belakang hari, Wajo memisahkan diri dan mengakui Karaeng Gowa sebagai penguasa atasannya. Arung Palakka sendiri sebelum melarikan diri ke Buton masih sempat mengadakan perjanjian di Atappang yang disebut "Pincara Lopie' ri Atappang" (1660) sebagai upaya mempersatukan kembali Bone dan Soppeng dalam melawan Gowa.Raja Gowa Sultan Alauddin (Daeng Manrabia Tumenanga ri Gaukanna) sendiri memakai Ulu Ada' (Perjanjian) masa lalu, antara kerajaan Makassar dengan Kerajaan-kerajaan Bugis di semenanjung timur yang menyebutkan bahwa "Siapa saja kelak yang mendapatkan petunjuk dan jalan hidup yang lebih baik, maka yang satu harus memberitahukan yang lain". Atas dasar Ulu Ada' inilah yang dipakai sebagai alasan perang pengislaman yang dalam sejarah disebut "Bundu Kasallangan" (Bugis : Musu Sellenge') untuk mengislamkan kerajaan – kerajaan lain yang belum memeluk Islam. Raja Gowa (Karaeng Gowa) menganggap bahwa Ulu Ade' itu harus diberlakukan dan ditaati, dan jalan hidup yang lebih baik itu adalah Islam. Meskipun Raja Bone La Tenrirua memahami dan menyetujui maksud pengislaman tersebut namun rakyat dan Dewan Hadat Bone tidak menaatinya. Bagi rakyat Bone, dengan serangan militernya bertahun – tahun sampai kemudian ditaklukkan Bone oleh Gowa (1611) menganggap bahwa apa yang dilakukan Karaeng Gowa tak lebih dari sebuah bentuk penjajahan suatu negara terhadap negara yang berdaulat. Belum lagi pengerahan tenaga kerja paksa sebanyak 40.000 rakyat Bone – Soppeng ke Gowa dalam membangun Benteng – benteng Makassar adalah fakta lain yang sangat menyakitkan Bone – Soppeng.Penindasan dan kerja paksa ribuan rakyat Bone – Soppeng inilah yang kemudian membangkitkan semangat perlawanan Arung Palakka dalam membebaskan negerinya dari penjajahan Gowa. Dalam Sejarah perlawanan dan pelarian Arung Palakka baik di negeri sendiri, di Buton maupun saat berada di Batavia, ada begitu banyak perjanjian / ikrar dan sumpah yang tercipta, sebagai bentuk penegasan rakyat dan kesetiaannya atas tekad dan semangat Petta Malampeq Gemmekna ini.Keberhasilan Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) yang kemudian cerita sejarah ini berakhir pada "Cappaya ri Bungaya" (Perjanjian Bungaya), tahun 1660. Pada saat itu, imperium besar, kerajaan terbesar di Indonesia Timur, Kerajaan Gowa perlahan – lahan menuju titik kehancuran. Daftar pustaka http://forum.viva.co.id/sejarah/1084821 http://www.rappang.com/2009/12/kerajaan-bone-dan-gowa-bersatu.html

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Pada masa pemerintahan Raja Bone VI, La Uliyo Botee Matinroe ri Itterung (1519 – 1544) dan Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna (1512-1548). Ulu Adae ri Tamalate yang terjadi pada Tahun 1540 ini merupakan perjanjian persahabatan antara Gowa dengan Bone. Pasal – pasal dalam Perjanjian ini melukiskan betapa indahnya persaudaraan antara Bone dengan Gowa, dua kerajaan terkemuka penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan. Namun masa damai antara keduanya hanya berlangsung selama 24 Tahun (1538 – 1562), sebelum terjadinya serangan militer pertama Gowa ke Bone pada tahun 1562 yang didahului dengan peristiwa sabung ayam 'Manu Bakkana Bone vs Jangang Ejana Gowa'. (lihat catatan : Manu') Sebagaimana perangnya yang luar biasa, masa perang Gowa Vs Bone berlangsung dari tahun 1562 – 1611 sampai tiba masanya Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) memerdekakan Bone-Soppeng dari Penjajahan Gowa, persahabatan yang dilalui Gowa dan Bone juga sangat luar biasa. Peristiwa pembukaan hubungan diplomatik pertama antara Gowa dan Bone (1538) bahkan diupacarakan dengan acara memperhadapkan senjata sakti kedua kerajaan, Lateariduni (kelewang arajang, senjata pusaka) Bone dan Sudanga (kelewang kalompoang, senjata pusaka) Gowa di Laccokong dimana Raja Gowa pertama kali menginjak Tana Bone. Kunjungan balasan Raja Bone, La Uliyo Botee ke Gowa inilah yang kemudian melahirkan "Ulu Adae ri Tamalate" yang bunyi perjanjiannya juga sangat luar biasa : 1. Narekko engka perina Bone, maddaungngi tasie naola Mangkasae, Narekko engka perina Gowa makkumpellei bulue' naoia to Bone.(Kalau Bone terancam bahaya musuh, maka berdaunlah lautan dilalui orang Makassar, kalau Gowa terancam bahaya musuh maka ratalah gunung dilalui orang Bone). 2. Tessinawa – nawa majaki, tessipatingarai kanna Bone Gowa, tessiacinnaiyangngi matasa pattola malampe.(Tidak akan saling berprasangka buruk, tidak akan saling menyerang, Bone-Gowa, dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri). 3. Iyyasi somperengngi Gowa, iyyasi manai ada torioloe, iyyasi somperengngi Bone, iyyasi manai ada torioloe'.(Siapa saja yang melayarkan bahtera Gowa, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini dan siapa saja yang melayarkan bahtera Bone, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini). 4. Niginigi temmaringngerang riada torioloe, mareppai urikkurinna, lowa – lowanna, padai tello riaddampessangnge ri batue tanana.(Siapa saja yang tidak mengingat amanat leluhur ini maka pecahlah periuk belanganya, negeri, seperti telur dihempaskan ke atas batu). Perjanjian ini saya anggap suatu perjanjian yang luar biasa, butir – butir perjanjian ini seandainya dilaksanakan oleh penerus takhta Gowa dan Bone, sejarah akan bercerita lain. Namun, kata banyak orang, perjanjian memang dibuat untuk dilanggar. Dan di banyak catatan lontaraq, akhirnya kitapun mendapati puluhan perjanjian yang mengiringi Ulu Adae ri Tamalate ini. Ada perjanjian yang disebut Ulu Kanayya ri Caleppa (Bugis : Ulu Adae ri Caleppa) sebagai buntut serangan militer keempat Gowa ke Bone (1565) yang berakhir dengan gencatan senjata. Perang yang dimenangkan oleh Bone tersebut kemudian diperbaharui lagi perjanjiannya lewat suatu kesepahaman bersama, yang oleh Gowa disebut Kana-kanayya iwarakanna Bone (Perjanjian di Utara Bone).Perjanjian – perjanjian lainpun terus berlanjut. Pihak Bone pun kemudian memprakarsai pembentukan triaple alliance, "Mattellumpocoe ri Timurung" (1572), antara Bone, Soppeng dan Wajo sebagai penyatuan kekuatan bugis mengantisipasi serangan Gowa yang semakin menggila ingin menjadi penguasa tak tertandingi di semenanjung barat dan timur Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengalaman pahit dari tahun ke tahun yang harus dilalui Bone akibat serangan militer Gowa dan gangguan militer Luwu, maka Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge didampingi oleh penasehat ulung kerajaan, Kajao Laliddong, berupaya memperkuat benteng pertahanan Bone untuk menghadapi kemungkinan serangan militer Gowa dan Luwu. Dengan pendekatan diplomatik La Tenrirawe Bongkangnge berhasil membentuk kekuatan bersama antara Bone, Soppeng dan Wajo, di Kampung Bunne Timurung, Bone Utara pada tahun 1572. Upacara pembentukan triple alliance tersebut dihadiri oleh delegasi dari masing – masing kerajaan dari Bone, Soppeng dan Wajo : Kerajaan Bone, diwakili langsung oleh rajanya La Tenrirawe Bongkangnge, pensehat kerajaan Kajaolaliddong dan pembesar – pembesar Kerajaan Bone lainnya, Kerajaan Wajo, dipimpin langsung oleh La Mungkace Touddamang Arung Matowa, Pillae, Cakkuridie, Pattolae, dan pembesar – pembesar Kerajaan Wajo lainnya, dan Kerajaan Soppeng, diwakili oleh La Mappaleppe Pong Lipue, Datu Soppeng Arung Bila, Arung Pangepae, dan Arung Paddanrenge".Tellumpoccoe ri Timurung menetapkan prinsip – prinsip kesepakatan sebagai berikut : 1. Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, siappidapireng riperi nyameng ; (Memperingati bagi mereka yang tidak mentaati kesepakatan, saling menegakkan jika ada yang tersungkur dan saling membantu dalam suka duka). 2. Tessibaiccukang, tessiacinnaiyang ulaweng matasa, pattola malampe, waramparang maega pada mallebang risaliweng temmallebbang ri laleng. (Tidak akan saling mengecilkan peran, tidak akan saling menginginkan perebutan takhta dan penggantian putera mahkota dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing – masing). 3. Teppettu – pettu siranreng sama – samapi mappettu, tennawawa tomate jancitta, tennalirang anging ri saliweng bitara, natajeng tencajie. Iya teya ripakainge iya riduai, mau maruttung langie, mawoto paratiwie, temmalukka akkulu adangetta, natettongi Dewata Seuwae . (Tidak akan putus satu – satu melainkan semua harus putus, perjanjian ini tidak batal karena kita mati dan tidak akan lenyap karena dihanyutkan angin keluar langit, mustahil terjadi. Siapa yang tidak mau diperingati, dialah yang harus diserang kita berdua. Walaupun langit runtuh dan bumi terbang, perjanjian ini tidak akan batal dan disaksikan oleh Dewata SeuwaE). 4. Sirekkokeng tedong mawatang, sirettong panni, sipolowang poppa, silasekeng tedong siteppekeng tanru tedong.(Saling menundukkan kerbau yang kuat, saling mematahkan paha, saling mengebirikan kerbau. Artinya mereka akan saling memberikan bantuan militer untuk menundukkan musuh yang kuat). 5. Tessiottong waramparang, tessipalattu ana parakeana.(Tidak akan saling berebutan harta benda dan berlaku bagi generasi penerus).Substansi kesepakatan perjanjian diatas menunjukkan bahwa ketiga kerajaan, Bone, Soppeng dan Wajo secara sadar membentuk pakta pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka. Dengan demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di kawasan Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu pada masa itu.Perjanjian "Mattelempoccoe ri Timurung" pun mengalami pasang surut kesepahaman diantara ketiga kerajaan tersebut hingga melahirkan lagi perjanjian – perjanjian kecil seiring perkembangan kekuasaan di semenanjung timur serta ekspansi yang luar biasa dari Kerajaan Gowa. Di belakang hari, Wajo memisahkan diri dan mengakui Karaeng Gowa sebagai penguasa atasannya. Arung Palakka sendiri sebelum melarikan diri ke Buton masih sempat mengadakan perjanjian di Atappang yang disebut "Pincara Lopie' ri Atappang" (1660) sebagai upaya mempersatukan kembali Bone dan Soppeng dalam melawan Gowa.Raja Gowa Sultan Alauddin (Daeng Manrabia Tumenanga ri Gaukanna) sendiri memakai Ulu Ada' (Perjanjian) masa lalu, antara kerajaan Makassar dengan Kerajaan-kerajaan Bugis di semenanjung timur yang menyebutkan bahwa "Siapa saja kelak yang mendapatkan petunjuk dan jalan hidup yang lebih baik, maka yang satu harus memberitahukan yang lain". Atas dasar Ulu Ada' inilah yang dipakai sebagai alasan perang pengislaman yang dalam sejarah disebut "Bundu Kasallangan" (Bugis : Musu Sellenge') untuk mengislamkan kerajaan – kerajaan lain yang belum memeluk Islam. Raja Gowa (Karaeng Gowa) menganggap bahwa Ulu Ade' itu harus diberlakukan dan ditaati, dan jalan hidup yang lebih baik itu adalah Islam. Meskipun Raja Bone La Tenrirua memahami dan menyetujui maksud pengislaman tersebut namun rakyat dan Dewan Hadat Bone tidak menaatinya. Bagi rakyat Bone, dengan serangan militernya bertahun – tahun sampai kemudian ditaklukkan Bone oleh Gowa (1611) menganggap bahwa apa yang dilakukan Karaeng Gowa tak lebih dari sebuah bentuk penjajahan suatu negara terhadap negara yang berdaulat. Belum lagi pengerahan tenaga kerja paksa sebanyak 40.000 rakyat Bone – Soppeng ke Gowa dalam membangun Benteng – benteng Makassar adalah fakta lain yang sangat menyakitkan Bone – Soppeng.Penindasan dan kerja paksa ribuan rakyat Bone – Soppeng inilah yang kemudian membangkitkan semangat perlawanan Arung Palakka dalam membebaskan negerinya dari penjajahan Gowa. Dalam Sejarah perlawanan dan pelarian Arung Palakka baik di negeri sendiri, di Buton maupun saat berada di Batavia, ada begitu banyak perjanjian / ikrar dan sumpah yang tercipta, sebagai bentuk penegasan rakyat dan kesetiaannya atas tekad dan semangat Petta Malampeq Gemmekna ini.Keberhasilan Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) yang kemudian cerita sejarah ini berakhir pada "Cappaya ri Bungaya" (Perjanjian Bungaya), tahun 1660. Pada saat itu, imperium besar, kerajaan terbesar di Indonesia Timur, Kerajaan Gowa perlahan – lahan menuju titik kehancuran. Daftar pustaka http://forum.viva.co.id/sejarah/1084821 http://www.rappang.com/2009/12/kerajaan-bone-dan-gowa-bersatu.html

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Pada masa pemerintahan Raja Bone VI, La Uliyo Botee Matinroe ri Itterung (1519 – 1544) dan Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna (1512-1548). Ulu Adae ri Tamalate yang terjadi pada Tahun 1540 ini merupakan perjanjian persahabatan antara Gowa dengan Bone. Pasal – pasal dalam Perjanjian ini melukiskan betapa indahnya persaudaraan antara Bone dengan Gowa, dua kerajaan terkemuka penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan. Namun masa damai antara keduanya hanya berlangsung selama 24 Tahun (1538 – 1562), sebelum terjadinya serangan militer pertama Gowa ke Bone pada tahun 1562 yang didahului dengan peristiwa sabung ayam 'Manu Bakkana Bone vs Jangang Ejana Gowa'. (lihat catatan : Manu') Sebagaimana perangnya yang luar biasa, masa perang Gowa Vs Bone berlangsung dari tahun 1562 – 1611 sampai tiba masanya Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) memerdekakan Bone-Soppeng dari Penjajahan Gowa, persahabatan yang dilalui Gowa dan Bone juga sangat luar biasa. Peristiwa pembukaan hubungan diplomatik pertama antara Gowa dan Bone (1538) bahkan diupacarakan dengan acara memperhadapkan senjata sakti kedua kerajaan, Lateariduni (kelewang arajang, senjata pusaka) Bone dan Sudanga (kelewang kalompoang, senjata pusaka) Gowa di Laccokong dimana Raja Gowa pertama kali menginjak Tana Bone. Kunjungan balasan Raja Bone, La Uliyo Botee ke Gowa inilah yang kemudian melahirkan "Ulu Adae ri Tamalate" yang bunyi perjanjiannya juga sangat luar biasa : 1. Narekko engka perina Bone, maddaungngi tasie naola Mangkasae, Narekko engka perina Gowa makkumpellei bulue' naoia to Bone.(Kalau Bone terancam bahaya musuh, maka berdaunlah lautan dilalui orang Makassar, kalau Gowa terancam bahaya musuh maka ratalah gunung dilalui orang Bone). 2. Tessinawa – nawa majaki, tessipatingarai kanna Bone Gowa, tessiacinnaiyangngi matasa pattola malampe.(Tidak akan saling berprasangka buruk, tidak akan saling menyerang, Bone-Gowa, dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri). 3. Iyyasi somperengngi Gowa, iyyasi manai ada torioloe, iyyasi somperengngi Bone, iyyasi manai ada torioloe'.(Siapa saja yang melayarkan bahtera Gowa, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini dan siapa saja yang melayarkan bahtera Bone, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini). 4. Niginigi temmaringngerang riada torioloe, mareppai urikkurinna, lowa – lowanna, padai tello riaddampessangnge ri batue tanana.(Siapa saja yang tidak mengingat amanat leluhur ini maka pecahlah periuk belanganya, negeri, seperti telur dihempaskan ke atas batu). Perjanjian ini saya anggap suatu perjanjian yang luar biasa, butir – butir perjanjian ini seandainya dilaksanakan oleh penerus takhta Gowa dan Bone, sejarah akan bercerita lain. Namun, kata banyak orang, perjanjian memang dibuat untuk dilanggar. Dan di banyak catatan lontaraq, akhirnya kitapun mendapati puluhan perjanjian yang mengiringi Ulu Adae ri Tamalate ini. Ada perjanjian yang disebut Ulu Kanayya ri Caleppa (Bugis : Ulu Adae ri Caleppa) sebagai buntut serangan militer keempat Gowa ke Bone (1565) yang berakhir dengan gencatan senjata. Perang yang dimenangkan oleh Bone tersebut kemudian diperbaharui lagi perjanjiannya lewat suatu kesepahaman bersama, yang oleh Gowa disebut Kana-kanayya iwarakanna Bone (Perjanjian di Utara Bone).Perjanjian – perjanjian lainpun terus berlanjut. Pihak Bone pun kemudian memprakarsai pembentukan triaple alliance, "Mattellumpocoe ri Timurung" (1572), antara Bone, Soppeng dan Wajo sebagai penyatuan kekuatan bugis mengantisipasi serangan Gowa yang semakin menggila ingin menjadi penguasa tak tertandingi di semenanjung barat dan timur Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengalaman pahit dari tahun ke tahun yang harus dilalui Bone akibat serangan militer Gowa dan gangguan militer Luwu, maka Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge didampingi oleh penasehat ulung kerajaan, Kajao Laliddong, berupaya memperkuat benteng pertahanan Bone untuk menghadapi kemungkinan serangan militer Gowa dan Luwu. Dengan pendekatan diplomatik La Tenrirawe Bongkangnge berhasil membentuk kekuatan bersama antara Bone, Soppeng dan Wajo, di Kampung Bunne Timurung, Bone Utara pada tahun 1572. Upacara pembentukan triple alliance tersebut dihadiri oleh delegasi dari masing – masing kerajaan dari Bone, Soppeng dan Wajo : Kerajaan Bone, diwakili langsung oleh rajanya La Tenrirawe Bongkangnge, pensehat kerajaan Kajaolaliddong dan pembesar – pembesar Kerajaan Bone lainnya, Kerajaan Wajo, dipimpin langsung oleh La Mungkace Touddamang Arung Matowa, Pillae, Cakkuridie, Pattolae, dan pembesar – pembesar Kerajaan Wajo lainnya, dan Kerajaan Soppeng, diwakili oleh La Mappaleppe Pong Lipue, Datu Soppeng Arung Bila, Arung Pangepae, dan Arung Paddanrenge".Tellumpoccoe ri Timurung menetapkan prinsip – prinsip kesepakatan sebagai berikut : 1. Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, siappidapireng riperi nyameng ; (Memperingati bagi mereka yang tidak mentaati kesepakatan, saling menegakkan jika ada yang tersungkur dan saling membantu dalam suka duka). 2. Tessibaiccukang, tessiacinnaiyang ulaweng matasa, pattola malampe, waramparang maega pada mallebang risaliweng temmallebbang ri laleng. (Tidak akan saling mengecilkan peran, tidak akan saling menginginkan perebutan takhta dan penggantian putera mahkota dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing – masing). 3. Teppettu – pettu siranreng sama – samapi mappettu, tennawawa tomate jancitta, tennalirang anging ri saliweng bitara, natajeng tencajie. Iya teya ripakainge iya riduai, mau maruttung langie, mawoto paratiwie, temmalukka akkulu adangetta, natettongi Dewata Seuwae . (Tidak akan putus satu – satu melainkan semua harus putus, perjanjian ini tidak batal karena kita mati dan tidak akan lenyap karena dihanyutkan angin keluar langit, mustahil terjadi. Siapa yang tidak mau diperingati, dialah yang harus diserang kita berdua. Walaupun langit runtuh dan bumi terbang, perjanjian ini tidak akan batal dan disaksikan oleh Dewata SeuwaE). 4. Sirekkokeng tedong mawatang, sirettong panni, sipolowang poppa, silasekeng tedong siteppekeng tanru tedong.(Saling menundukkan kerbau yang kuat, saling mematahkan paha, saling mengebirikan kerbau. Artinya mereka akan saling memberikan bantuan militer untuk menundukkan musuh yang kuat). 5. Tessiottong waramparang, tessipalattu ana parakeana.(Tidak akan saling berebutan harta benda dan berlaku bagi generasi penerus).Substansi kesepakatan perjanjian diatas menunjukkan bahwa ketiga kerajaan, Bone, Soppeng dan Wajo secara sadar membentuk pakta pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka. Dengan demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di kawasan Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu pada masa itu.Perjanjian "Mattelempoccoe ri Timurung" pun mengalami pasang surut kesepahaman diantara ketiga kerajaan tersebut hingga melahirkan lagi perjanjian – perjanjian kecil seiring perkembangan kekuasaan di semenanjung timur serta ekspansi yang luar biasa dari Kerajaan Gowa. Di belakang hari, Wajo memisahkan diri dan mengakui Karaeng Gowa sebagai penguasa atasannya. Arung Palakka sendiri sebelum melarikan diri ke Buton masih sempat mengadakan perjanjian di Atappang yang disebut "Pincara Lopie' ri Atappang" (1660) sebagai upaya mempersatukan kembali Bone dan Soppeng dalam melawan Gowa.Raja Gowa Sultan Alauddin (Daeng Manrabia Tumenanga ri Gaukanna) sendiri memakai Ulu Ada' (Perjanjian) masa lalu, antara kerajaan Makassar dengan Kerajaan-kerajaan Bugis di semenanjung timur yang menyebutkan bahwa "Siapa saja kelak yang mendapatkan petunjuk dan jalan hidup yang lebih baik, maka yang satu harus memberitahukan yang lain". Atas dasar Ulu Ada' inilah yang dipakai sebagai alasan perang pengislaman yang dalam sejarah disebut "Bundu Kasallangan" (Bugis : Musu Sellenge') untuk mengislamkan kerajaan – kerajaan lain yang belum memeluk Islam. Raja Gowa (Karaeng Gowa) menganggap bahwa Ulu Ade' itu harus diberlakukan dan ditaati, dan jalan hidup yang lebih baik itu adalah Islam. Meskipun Raja Bone La Tenrirua memahami dan menyetujui maksud pengislaman tersebut namun rakyat dan Dewan Hadat Bone tidak menaatinya. Bagi rakyat Bone, dengan serangan militernya bertahun – tahun sampai kemudian ditaklukkan Bone oleh Gowa (1611) menganggap bahwa apa yang dilakukan Karaeng Gowa tak lebih dari sebuah bentuk penjajahan suatu negara terhadap negara yang berdaulat. Belum lagi pengerahan tenaga kerja paksa sebanyak 40.000 rakyat Bone – Soppeng ke Gowa dalam membangun Benteng – benteng Makassar adalah fakta lain yang sangat menyakitkan Bone – Soppeng.Penindasan dan kerja paksa ribuan rakyat Bone – Soppeng inilah yang kemudian membangkitkan semangat perlawanan Arung Palakka dalam membebaskan negerinya dari penjajahan Gowa. Dalam Sejarah perlawanan dan pelarian Arung Palakka baik di negeri sendiri, di Buton maupun saat berada di Batavia, ada begitu banyak perjanjian / ikrar dan sumpah yang tercipta, sebagai bentuk penegasan rakyat dan kesetiaannya atas tekad dan semangat Petta Malampeq Gemmekna ini.Keberhasilan Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) yang kemudian cerita sejarah ini berakhir pada "Cappaya ri Bungaya" (Perjanjian Bungaya), tahun 1660. Pada saat itu, imperium besar, kerajaan terbesar di Indonesia Timur, Kerajaan Gowa perlahan – lahan menuju titik kehancuran. Daftar pustaka http://forum.viva.co.id/sejarah/1084821 http://www.rappang.com/2009/12/kerajaan-bone-dan-gowa-bersatu.html

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Pada masa pemerintahan Raja Bone VI, La Uliyo Botee Matinroe ri Itterung (1519 – 1544) dan Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna (1512-1548). Ulu Adae ri Tamalate yang terjadi pada Tahun 1540 ini merupakan perjanjian persahabatan antara Gowa dengan Bone. Pasal – pasal dalam Perjanjian ini melukiskan betapa indahnya persaudaraan antara Bone dengan Gowa, dua kerajaan terkemuka penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan. Namun masa damai antara keduanya hanya berlangsung selama 24 Tahun (1538 – 1562), sebelum terjadinya serangan militer pertama Gowa ke Bone pada tahun 1562 yang didahului dengan peristiwa sabung ayam 'Manu Bakkana Bone vs Jangang Ejana Gowa'. (lihat catatan : Manu') Sebagaimana perangnya yang luar biasa, masa perang Gowa Vs Bone berlangsung dari tahun 1562 – 1611 sampai tiba masanya Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) memerdekakan Bone-Soppeng dari Penjajahan Gowa, persahabatan yang dilalui Gowa dan Bone juga sangat luar biasa. Peristiwa pembukaan hubungan diplomatik pertama antara Gowa dan Bone (1538) bahkan diupacarakan dengan acara memperhadapkan senjata sakti kedua kerajaan, Lateariduni (kelewang arajang, senjata pusaka) Bone dan Sudanga (kelewang kalompoang, senjata pusaka) Gowa di Laccokong dimana Raja Gowa pertama kali menginjak Tana Bone. Kunjungan balasan Raja Bone, La Uliyo Botee ke Gowa inilah yang kemudian melahirkan "Ulu Adae ri Tamalate" yang bunyi perjanjiannya juga sangat luar biasa : 1. Narekko engka perina Bone, maddaungngi tasie naola Mangkasae, Narekko engka perina Gowa makkumpellei bulue' naoia to Bone.(Kalau Bone terancam bahaya musuh, maka berdaunlah lautan dilalui orang Makassar, kalau Gowa terancam bahaya musuh maka ratalah gunung dilalui orang Bone). 2. Tessinawa – nawa majaki, tessipatingarai kanna Bone Gowa, tessiacinnaiyangngi matasa pattola malampe.(Tidak akan saling berprasangka buruk, tidak akan saling menyerang, Bone-Gowa, dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri). 3. Iyyasi somperengngi Gowa, iyyasi manai ada torioloe, iyyasi somperengngi Bone, iyyasi manai ada torioloe'.(Siapa saja yang melayarkan bahtera Gowa, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini dan siapa saja yang melayarkan bahtera Bone, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini). 4. Niginigi temmaringngerang riada torioloe, mareppai urikkurinna, lowa – lowanna, padai tello riaddampessangnge ri batue tanana.(Siapa saja yang tidak mengingat amanat leluhur ini maka pecahlah periuk belanganya, negeri, seperti telur dihempaskan ke atas batu). Perjanjian ini saya anggap suatu perjanjian yang luar biasa, butir – butir perjanjian ini seandainya dilaksanakan oleh penerus takhta Gowa dan Bone, sejarah akan bercerita lain. Namun, kata banyak orang, perjanjian memang dibuat untuk dilanggar. Dan di banyak catatan lontaraq, akhirnya kitapun mendapati puluhan perjanjian yang mengiringi Ulu Adae ri Tamalate ini. Ada perjanjian yang disebut Ulu Kanayya ri Caleppa (Bugis : Ulu Adae ri Caleppa) sebagai buntut serangan militer keempat Gowa ke Bone (1565) yang berakhir dengan gencatan senjata. Perang yang dimenangkan oleh Bone tersebut kemudian diperbaharui lagi perjanjiannya lewat suatu kesepahaman bersama, yang oleh Gowa disebut Kana-kanayya iwarakanna Bone (Perjanjian di Utara Bone).Perjanjian – perjanjian lainpun terus berlanjut. Pihak Bone pun kemudian memprakarsai pembentukan triaple alliance, "Mattellumpocoe ri Timurung" (1572), antara Bone, Soppeng dan Wajo sebagai penyatuan kekuatan bugis mengantisipasi serangan Gowa yang semakin menggila ingin menjadi penguasa tak tertandingi di semenanjung barat dan timur Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengalaman pahit dari tahun ke tahun yang harus dilalui Bone akibat serangan militer Gowa dan gangguan militer Luwu, maka Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge didampingi oleh penasehat ulung kerajaan, Kajao Laliddong, berupaya memperkuat benteng pertahanan Bone untuk menghadapi kemungkinan serangan militer Gowa dan Luwu. Dengan pendekatan diplomatik La Tenrirawe Bongkangnge berhasil membentuk kekuatan bersama antara Bone, Soppeng dan Wajo, di Kampung Bunne Timurung, Bone Utara pada tahun 1572. Upacara pembentukan triple alliance tersebut dihadiri oleh delegasi dari masing – masing kerajaan dari Bone, Soppeng dan Wajo : Kerajaan Bone, diwakili langsung oleh rajanya La Tenrirawe Bongkangnge, pensehat kerajaan Kajaolaliddong dan pembesar – pembesar Kerajaan Bone lainnya, Kerajaan Wajo, dipimpin langsung oleh La Mungkace Touddamang Arung Matowa, Pillae, Cakkuridie, Pattolae, dan pembesar – pembesar Kerajaan Wajo lainnya, dan Kerajaan Soppeng, diwakili oleh La Mappaleppe Pong Lipue, Datu Soppeng Arung Bila, Arung Pangepae, dan Arung Paddanrenge".Tellumpoccoe ri Timurung menetapkan prinsip – prinsip kesepakatan sebagai berikut : 1. Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, siappidapireng riperi nyameng ; (Memperingati bagi mereka yang tidak mentaati kesepakatan, saling menegakkan jika ada yang tersungkur dan saling membantu dalam suka duka). 2. Tessibaiccukang, tessiacinnaiyang ulaweng matasa, pattola malampe, waramparang maega pada mallebang risaliweng temmallebbang ri laleng. (Tidak akan saling mengecilkan peran, tidak akan saling menginginkan perebutan takhta dan penggantian putera mahkota dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing – masing). 3. Teppettu – pettu siranreng sama – samapi mappettu, tennawawa tomate jancitta, tennalirang anging ri saliweng bitara, natajeng tencajie. Iya teya ripakainge iya riduai, mau maruttung langie, mawoto paratiwie, temmalukka akkulu adangetta, natettongi Dewata Seuwae . (Tidak akan putus satu – satu melainkan semua harus putus, perjanjian ini tidak batal karena kita mati dan tidak akan lenyap karena dihanyutkan angin keluar langit, mustahil terjadi. Siapa yang tidak mau diperingati, dialah yang harus diserang kita berdua. Walaupun langit runtuh dan bumi terbang, perjanjian ini tidak akan batal dan disaksikan oleh Dewata SeuwaE). 4. Sirekkokeng tedong mawatang, sirettong panni, sipolowang poppa, silasekeng tedong siteppekeng tanru tedong.(Saling menundukkan kerbau yang kuat, saling mematahkan paha, saling mengebirikan kerbau. Artinya mereka akan saling memberikan bantuan militer untuk menundukkan musuh yang kuat). 5. Tessiottong waramparang, tessipalattu ana parakeana.(Tidak akan saling berebutan harta benda dan berlaku bagi generasi penerus).Substansi kesepakatan perjanjian diatas menunjukkan bahwa ketiga kerajaan, Bone, Soppeng dan Wajo secara sadar membentuk pakta pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka. Dengan demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di kawasan Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu pada masa itu.Perjanjian "Mattelempoccoe ri Timurung" pun mengalami pasang surut kesepahaman diantara ketiga kerajaan tersebut hingga melahirkan lagi perjanjian – perjanjian kecil seiring perkembangan kekuasaan di semenanjung timur serta ekspansi yang luar biasa dari Kerajaan Gowa. Di belakang hari, Wajo memisahkan diri dan mengakui Karaeng Gowa sebagai penguasa atasannya. Arung Palakka sendiri sebelum melarikan diri ke Buton masih sempat mengadakan perjanjian di Atappang yang disebut "Pincara Lopie' ri Atappang" (1660) sebagai upaya mempersatukan kembali Bone dan Soppeng dalam melawan Gowa.Raja Gowa Sultan Alauddin (Daeng Manrabia Tumenanga ri Gaukanna) sendiri memakai Ulu Ada' (Perjanjian) masa lalu, antara kerajaan Makassar dengan Kerajaan-kerajaan Bugis di semenanjung timur yang menyebutkan bahwa "Siapa saja kelak yang mendapatkan petunjuk dan jalan hidup yang lebih baik, maka yang satu harus memberitahukan yang lain". Atas dasar Ulu Ada' inilah yang dipakai sebagai alasan perang pengislaman yang dalam sejarah disebut "Bundu Kasallangan" (Bugis : Musu Sellenge') untuk mengislamkan kerajaan – kerajaan lain yang belum memeluk Islam. Raja Gowa (Karaeng Gowa) menganggap bahwa Ulu Ade' itu harus diberlakukan dan ditaati, dan jalan hidup yang lebih baik itu adalah Islam. Meskipun Raja Bone La Tenrirua memahami dan menyetujui maksud pengislaman tersebut namun rakyat dan Dewan Hadat Bone tidak menaatinya. Bagi rakyat Bone, dengan serangan militernya bertahun – tahun sampai kemudian ditaklukkan Bone oleh Gowa (1611) menganggap bahwa apa yang dilakukan Karaeng Gowa tak lebih dari sebuah bentuk penjajahan suatu negara terhadap negara yang berdaulat. Belum lagi pengerahan tenaga kerja paksa sebanyak 40.000 rakyat Bone – Soppeng ke Gowa dalam membangun Benteng – benteng Makassar adalah fakta lain yang sangat menyakitkan Bone – Soppeng.Penindasan dan kerja paksa ribuan rakyat Bone – Soppeng inilah yang kemudian membangkitkan semangat perlawanan Arung Palakka dalam membebaskan negerinya dari penjajahan Gowa. Dalam Sejarah perlawanan dan pelarian Arung Palakka baik di negeri sendiri, di Buton maupun saat berada di Batavia, ada begitu banyak perjanjian / ikrar dan sumpah yang tercipta, sebagai bentuk penegasan rakyat dan kesetiaannya atas tekad dan semangat Petta Malampeq Gemmekna ini.Keberhasilan Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) yang kemudian cerita sejarah ini berakhir pada "Cappaya ri Bungaya" (Perjanjian Bungaya), tahun 1660. Pada saat itu, imperium besar, kerajaan terbesar di Indonesia Timur, Kerajaan Gowa perlahan – lahan menuju titik kehancuran. Daftar pustaka http://forum.viva.co.id/sejarah/1084821 http://www.rappang.com/2009/12/kerajaan-bone-dan-gowa-bersatu.html

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Pada masa pemerintahan Raja Bone VI, La Uliyo Botee Matinroe ri Itterung (1519 – 1544) dan Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna (1512-1548). Ulu Adae ri Tamalate yang terjadi pada Tahun 1540 ini merupakan perjanjian persahabatan antara Gowa dengan Bone. Pasal – pasal dalam Perjanjian ini melukiskan betapa indahnya persaudaraan antara Bone dengan Gowa, dua kerajaan terkemuka penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan. Namun masa damai antara keduanya hanya berlangsung selama 24 Tahun (1538 – 1562), sebelum terjadinya serangan militer pertama Gowa ke Bone pada tahun 1562 yang didahului dengan peristiwa sabung ayam 'Manu Bakkana Bone vs Jangang Ejana Gowa'. (lihat catatan : Manu') Sebagaimana perangnya yang luar biasa, masa perang Gowa Vs Bone berlangsung dari tahun 1562 – 1611 sampai tiba masanya Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) memerdekakan Bone-Soppeng dari Penjajahan Gowa, persahabatan yang dilalui Gowa dan Bone juga sangat luar biasa. Peristiwa pembukaan hubungan diplomatik pertama antara Gowa dan Bone (1538) bahkan diupacarakan dengan acara memperhadapkan senjata sakti kedua kerajaan, Lateariduni (kelewang arajang, senjata pusaka) Bone dan Sudanga (kelewang kalompoang, senjata pusaka) Gowa di Laccokong dimana Raja Gowa pertama kali menginjak Tana Bone. Kunjungan balasan Raja Bone, La Uliyo Botee ke Gowa inilah yang kemudian melahirkan "Ulu Adae ri Tamalate" yang bunyi perjanjiannya juga sangat luar biasa : 1. Narekko engka perina Bone, maddaungngi tasie naola Mangkasae, Narekko engka perina Gowa makkumpellei bulue' naoia to Bone.(Kalau Bone terancam bahaya musuh, maka berdaunlah lautan dilalui orang Makassar, kalau Gowa terancam bahaya musuh maka ratalah gunung dilalui orang Bone). 2. Tessinawa – nawa majaki, tessipatingarai kanna Bone Gowa, tessiacinnaiyangngi matasa pattola malampe.(Tidak akan saling berprasangka buruk, tidak akan saling menyerang, Bone-Gowa, dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri). 3. Iyyasi somperengngi Gowa, iyyasi manai ada torioloe, iyyasi somperengngi Bone, iyyasi manai ada torioloe'.(Siapa saja yang melayarkan bahtera Gowa, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini dan siapa saja yang melayarkan bahtera Bone, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini). 4. Niginigi temmaringngerang riada torioloe, mareppai urikkurinna, lowa – lowanna, padai tello riaddampessangnge ri batue tanana.(Siapa saja yang tidak mengingat amanat leluhur ini maka pecahlah periuk belanganya, negeri, seperti telur dihempaskan ke atas batu). Perjanjian ini saya anggap suatu perjanjian yang luar biasa, butir – butir perjanjian ini seandainya dilaksanakan oleh penerus takhta Gowa dan Bone, sejarah akan bercerita lain. Namun, kata banyak orang, perjanjian memang dibuat untuk dilanggar. Dan di banyak catatan lontaraq, akhirnya kitapun mendapati puluhan perjanjian yang mengiringi Ulu Adae ri Tamalate ini. Ada perjanjian yang disebut Ulu Kanayya ri Caleppa (Bugis : Ulu Adae ri Caleppa) sebagai buntut serangan militer keempat Gowa ke Bone (1565) yang berakhir dengan gencatan senjata. Perang yang dimenangkan oleh Bone tersebut kemudian diperbaharui lagi perjanjiannya lewat suatu kesepahaman bersama, yang oleh Gowa disebut Kana-kanayya iwarakanna Bone (Perjanjian di Utara Bone).Perjanjian – perjanjian lainpun terus berlanjut. Pihak Bone pun kemudian memprakarsai pembentukan triaple alliance, "Mattellumpocoe ri Timurung" (1572), antara Bone, Soppeng dan Wajo sebagai penyatuan kekuatan bugis mengantisipasi serangan Gowa yang semakin menggila ingin menjadi penguasa tak tertandingi di semenanjung barat dan timur Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengalaman pahit dari tahun ke tahun yang harus dilalui Bone akibat serangan militer Gowa dan gangguan militer Luwu, maka Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge didampingi oleh penasehat ulung kerajaan, Kajao Laliddong, berupaya memperkuat benteng pertahanan Bone untuk menghadapi kemungkinan serangan militer Gowa dan Luwu. Dengan pendekatan diplomatik La Tenrirawe Bongkangnge berhasil membentuk kekuatan bersama antara Bone, Soppeng dan Wajo, di Kampung Bunne Timurung, Bone Utara pada tahun 1572. Upacara pembentukan triple alliance tersebut dihadiri oleh delegasi dari masing – masing kerajaan dari Bone, Soppeng dan Wajo : Kerajaan Bone, diwakili langsung oleh rajanya La Tenrirawe Bongkangnge, pensehat kerajaan Kajaolaliddong dan pembesar – pembesar Kerajaan Bone lainnya, Kerajaan Wajo, dipimpin langsung oleh La Mungkace Touddamang Arung Matowa, Pillae, Cakkuridie, Pattolae, dan pembesar – pembesar Kerajaan Wajo lainnya, dan Kerajaan Soppeng, diwakili oleh La Mappaleppe Pong Lipue, Datu Soppeng Arung Bila, Arung Pangepae, dan Arung Paddanrenge".Tellumpoccoe ri Timurung menetapkan prinsip – prinsip kesepakatan sebagai berikut : 1. Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, siappidapireng riperi nyameng ; (Memperingati bagi mereka yang tidak mentaati kesepakatan, saling menegakkan jika ada yang tersungkur dan saling membantu dalam suka duka). 2. Tessibaiccukang, tessiacinnaiyang ulaweng matasa, pattola malampe, waramparang maega pada mallebang risaliweng temmallebbang ri laleng. (Tidak akan saling mengecilkan peran, tidak akan saling menginginkan perebutan takhta dan penggantian putera mahkota dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing – masing). 3. Teppettu – pettu siranreng sama – samapi mappettu, tennawawa tomate jancitta, tennalirang anging ri saliweng bitara, natajeng tencajie. Iya teya ripakainge iya riduai, mau maruttung langie, mawoto paratiwie, temmalukka akkulu adangetta, natettongi Dewata Seuwae . (Tidak akan putus satu – satu melainkan semua harus putus, perjanjian ini tidak batal karena kita mati dan tidak akan lenyap karena dihanyutkan angin keluar langit, mustahil terjadi. Siapa yang tidak mau diperingati, dialah yang harus diserang kita berdua. Walaupun langit runtuh dan bumi terbang, perjanjian ini tidak akan batal dan disaksikan oleh Dewata SeuwaE). 4. Sirekkokeng tedong mawatang, sirettong panni, sipolowang poppa, silasekeng tedong siteppekeng tanru tedong.(Saling menundukkan kerbau yang kuat, saling mematahkan paha, saling mengebirikan kerbau. Artinya mereka akan saling memberikan bantuan militer untuk menundukkan musuh yang kuat). 5. Tessiottong waramparang, tessipalattu ana parakeana.(Tidak akan saling berebutan harta benda dan berlaku bagi generasi penerus).Substansi kesepakatan perjanjian diatas menunjukkan bahwa ketiga kerajaan, Bone, Soppeng dan Wajo secara sadar membentuk pakta pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka. Dengan demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di kawasan Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu pada masa itu.Perjanjian "Mattelempoccoe ri Timurung" pun mengalami pasang surut kesepahaman diantara ketiga kerajaan tersebut hingga melahirkan lagi perjanjian – perjanjian kecil seiring perkembangan kekuasaan di semenanjung timur serta ekspansi yang luar biasa dari Kerajaan Gowa. Di belakang hari, Wajo memisahkan diri dan mengakui Karaeng Gowa sebagai penguasa atasannya. Arung Palakka sendiri sebelum melarikan diri ke Buton masih sempat mengadakan perjanjian di Atappang yang disebut "Pincara Lopie' ri Atappang" (1660) sebagai upaya mempersatukan kembali Bone dan Soppeng dalam melawan Gowa.Raja Gowa Sultan Alauddin (Daeng Manrabia Tumenanga ri Gaukanna) sendiri memakai Ulu Ada' (Perjanjian) masa lalu, antara kerajaan Makassar dengan Kerajaan-kerajaan Bugis di semenanjung timur yang menyebutkan bahwa "Siapa saja kelak yang mendapatkan petunjuk dan jalan hidup yang lebih baik, maka yang satu harus memberitahukan yang lain". Atas dasar Ulu Ada' inilah yang dipakai sebagai alasan perang pengislaman yang dalam sejarah disebut "Bundu Kasallangan" (Bugis : Musu Sellenge') untuk mengislamkan kerajaan – kerajaan lain yang belum memeluk Islam. Raja Gowa (Karaeng Gowa) menganggap bahwa Ulu Ade' itu harus diberlakukan dan ditaati, dan jalan hidup yang lebih baik itu adalah Islam. Meskipun Raja Bone La Tenrirua memahami dan menyetujui maksud pengislaman tersebut namun rakyat dan Dewan Hadat Bone tidak menaatinya. Bagi rakyat Bone, dengan serangan militernya bertahun – tahun sampai kemudian ditaklukkan Bone oleh Gowa (1611) menganggap bahwa apa yang dilakukan Karaeng Gowa tak lebih dari sebuah bentuk penjajahan suatu negara terhadap negara yang berdaulat. Belum lagi pengerahan tenaga kerja paksa sebanyak 40.000 rakyat Bone – Soppeng ke Gowa dalam membangun Benteng – benteng Makassar adalah fakta lain yang sangat menyakitkan Bone – Soppeng.Penindasan dan kerja paksa ribuan rakyat Bone – Soppeng inilah yang kemudian membangkitkan semangat perlawanan Arung Palakka dalam membebaskan negerinya dari penjajahan Gowa. Dalam Sejarah perlawanan dan pelarian Arung Palakka baik di negeri sendiri, di Buton maupun saat berada di Batavia, ada begitu banyak perjanjian / ikrar dan sumpah yang tercipta, sebagai bentuk penegasan rakyat dan kesetiaannya atas tekad dan semangat Petta Malampeq Gemmekna ini.Keberhasilan Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) yang kemudian cerita sejarah ini berakhir pada "Cappaya ri Bungaya" (Perjanjian Bungaya), tahun 1660. Pada saat itu, imperium besar, kerajaan terbesar di Indonesia Timur, Kerajaan Gowa perlahan – lahan menuju titik kehancuran. Daftar pustaka http://forum.viva.co.id/sejarah/1084821 http://www.rappang.com/2009/12/kerajaan-bone-dan-gowa-bersatu.html

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap