Sunday, February 28, 2016

Kerajaan Banawa

Sejarah Kerajaan Banawa

Kerajaan Banawa didirikan oleh Sawerigading dengan puteranya bernama La Galigo. Dengan perahu layar yang ramping bernama Banawa, mereka mengarungi lautan sampai ke pesisir barat Sulawesi Tengah dan berlabuh di sebuah pantai kira-kira 7 km dari kota Donggala sekarang. Pantai tersebut dinamakan Langga Lopi dan daerah disekitarnya disebut Banawa. Di daerah ini La Galigo menikah dengan puteri Kaili dari Kerajaan Pudjananti bernama Daeng Malino Karaeng Tompo Ri Pudjananti sebagai isteri keempatnya. Dari pernikahan tersebut melahirkan dua orang anak, yang putra bernama Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro sedangkan yang puteri diberi nama Wettoi Tungki Daeng Tarenreng Masagalae Ri Pudjananti.
Kerajaan Banawa terletak di Sulawesi, kabupaten Donggala, prov. Sulawesi Tengah.
Prov. Sulawesi Tengah
Prov Sulteng
Kabupaten Donggala
Kab Donggala


Banawa
Banawa

DONGGALA salah satu kota niaga yang dikenal sebagai kerajaan maritim bernama Banawa tempo dulu  yang kini telah berusia sekitar 7 abad. Usia tua itu mengacu pada catatan yang menyebutkan, Donggala abad 14 sudah sering disinggahi kapal niaga untuk perdagangan dan pencarian kayu cendana oleh orang-orang Eropa.

Bahkan bisa jadi, jauh sebelum abad 14, Donggala sudah menjadi salah pusat peradaban cukup penting di Nusantara, mengingat adanya permukiman cikal bakal terbentuknya kota itu sudah cukup lama. Menurut cerita turun-temurun, di sebelah barat terdapat permukiaman tua, tepatnya Ganti (dulu Pudjananti). Dahulu kala, permukiman yang kini jadi kota masih merupakan laut teluk. Konon, air laut sampai di Ganti, sehingga pelabuhan lama berada dalam teluk yang kini jaraknya 2 kilometer lebih dari Pelabuhan Donggala sekarang. Sebagai bukti-bukti arkeologi, menunjukkan di sekitar perkampungan menuju Ganti sangat mudah ditemui pecahan-pecahan kerang berserakan.

Masyarakat Donggala dan Ganti sendiri mempercayai hal itu. Apalagi di Ganti juga ada tempat bernama Langgalopi yang dalam bahasa Bugis Donggala berarti “galangan perahu atau kapal”. Konon, di situlah kapal Sawerigading yang dikenal dalam sure I Lagaligo dari Tanah Luwuk yang dikenal sebagai petualang dan penguasa lautan dengan ratusan armada setiap melakukan pelayaran ke berbagai kawasan, pernah berlabuh dan menyangga kapalnya di tempat itu untuk diperbaiki. Setelah kedatangan Sawerigading di Ganti ia melanjutan pelayaran ke Kerajaan Bangga dan kemudian ke Sigi di Teluk Kaili yang kala itu, Lembah Palu juga masih berupa perairan laut teluk.

Pelayaran tersebut bermaksud menjalin persahabatan dan tak terkecuali bermaksud mencari wanita-wanita cantik untuk dijadikan istri. Tapi selama di Tanah Kaili, Sawerigading gagal mengawini Ngilinayo, ratu Sigi, karena saat meminang tiba-tiba saja terjadi bencana alam dahsyat (gempa bumi), sehingga pembicaraan pinang-meminang berubah jadi saling menyelamatkan diri dan berakhir menjalin persahabatan dan persaudaraan.

Menurut legenda, akibat bencana itulah, kemudiaan perairan teluk yang kini kota Donggala dan Palu, jadi mengering, setelah air laut surut dan sebagian teluk tertimbun tanah. Penduduk di punggung-punggung pegunungan pun mulai turun ke lembah bekas laut itu sebagai pemukiman baru secara turun temurun hingga sekarang.

Benar-tidaknya cerita ini, memang belum dapat dipastikan. Tapi yang jelas bila dihubung-hubungkan beberapa nama tokoh dan tempat yang disebutkan dalam kitab Bugis Kuno, I Lagaligo beberapa bagian menyebut nama Pudjananting sebagai salah satu wilayah Sawerigading dalam melakukan petualangan dimana I Lagaligo putra Sawerigading melakukan perkawinan dengan seorang wanita bernama Karaeng Tompo di Pudjananting. Ada pula disebutkan tentang nama Nyilina iyo yang di di Tanah Kaili atau tepatnya di Kerajaan Sigi dikenal sebagai raja perempuan pertama di kerajaan itu, Cuma saja dalam kitab tersebut, Nyilina Iyo dimaksud adalah seorang laki-laki sebagai raja Sunrariaja.

Kitab bahasa Bugis yang telah diterjemahkan ke Bahasa Belanda oleh R.A. Kern tahun 1936 yang kemudian oleh La Side dan Sagimun M.D diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Gadjah Mada University Press, 1993, sangat menarik diteliti lebih lanjut. Beberapa nama lokasi (tempat) disebutkan di dalam suatu peristiwa, sulit diinterpretasikan atau dicocokkan dengan nama-nama tempat yang ada sekarang, kecuali beberapa daerah lainnya. Sebab mungkin nama-nama tempat dalam peristiwa ratusan tahun silam itu, kemudian berubah nama sesuai perkembangan masyarakatnya.

Salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananting. Mungkin yang dimaksud itu adalah Pudjananti (sekarang: Ganti), mengingat orang Kaili dalam melafalkan suatu nama berakhiran ng, selalu tidak disebutkan, sehingga Pudjananting itulah disebut Pudjananti. Begitu pula sebutan Sawerigading dalam bahasa Bugis orang Kaili mengeja menjadi Saverigadi dengan menghilangkan ng. Dalam kitab tersebut, bisa memperkuat kebenaran cerita rakyat kalau Sawerigading pernah menambatkan perahunya di Ganti. Kalau memang benar, berarti jauh sebelum itu, di daerah sekitar Donggala sekarang ini telah menjadi permukiman sejak lama.

Pudjananti, merupakan salah satu dari tiga kerajaan tua di Sulteng se-zaman Majapahit dan Singasari, yakni Kerajaan Banggai (Benggawi) dan Sigi. Dalam tulisan almarhumah Andi Mas Ulun Parenrengi (13 Tokoh Sejarah Dalam Pemerintahan Kerajaan Banawa) yang belum diterbitkan, menjelaskan; Pudjananti mengalami masa kejayaan antara 1220-1485. Kemudian menjadi cikal-bakal terbentuknya Kerajaan Banawa Donggala dengan raja pertama, seorang perempuan, bernama I Badan Tassa Batari Bana, (1485-1552). Kedua juga perempuan; I Tassa Banawa (1552-1650), ketiga masih perempuan, I Toraya (1650-1698).

Baru raja keempat pertama dipimpin laki-laki, La Bugia Pue Uva (1698-1758), tapi penggantinya, raja kelima kembali dipimpin perempuan; I Sabida (1758-1800) dan raja keenam merupakan perempuan terakhir dalam pemerintahan Banawa, bernama I Sandudongie (1800-1845). Raja ketujuh La Sabanawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888), raja kedelapan Lamakagili Tomai Doda Pue Nggeu (1888-1902), raja kesembilan Lamarauna Pue Totua (1902-1930), raja kesepuluh La Gaga Pue Tanamea (1930-1932), raja kesebelas La Ruhana Lamarauna (1935-1947), raja keduabelas La Parenrengi Lamarauna (1947-1959). Sedangkan La Malonda Pue Djoli, sebagai pelaksana harian Kerajaan Banawa dikenal sebagai ketua dewan adat Pitunggota (1889-1903).

Konon nama Banawa diambil dari salah satu sebutan kapal walenrenge Sawerigading. Diabadikan sebagai kenangan atas pertalian persaudaraan keturunan dinasti Sawerigading dari putranya I Lagaligo. Sebab dipercaya, raja-raja yang memerintah di Pudjananti merupakan keturunan I Lagaligo, putra Sawerigading.

Semasa hidupnya Mas Ulun yang juga salah satu keturunan raja terakhir Banawa sangat rajin melakukan penjejakan dokumentasi dan penulusuran sejarah Banawa. Dalam tulisannya yang belum sempat diterbitkan [Cuma saja ia tidak menjelaskan sumbernya], menyebutkan silsilah keturunan raja dalam pemerintahan Banawa bertitik awal dari I Lagaligo, sebagai berikut;

I Badan Tassa, putri Patta Manurung (kakak tertua La Umasse Raja Bone II) dari istrinya Peambuni putri Raja Kaili dengan La Mappanganro Le Gantie putra Lagaligo Datuna Luwu-Palopo dari istrinya Karaeng Tompo Daeng Malino Raja Pudjananti keturunan To Manurunge ri Goa (To Mangkasak). Dibuatlah kesepakatan dari raja-raja yang menurunkan darah bangsawan murni kepada kedua mempelai dengan hadiah seluruh wilayah Kerajaan tua Pudjananti dengan nama baru “Kerajaan Banawa.”


Pelabuhan Jadi Rebutan

Pudjananti, dari abad ke abad mulai dikenal sebagai salah satu kerajaan Nusantara, terlebih lagi, ketika beralih menjadi Kerajaan Banawa. Kipranya kian besar dan dikenal lebih luas hingga ke berbagai negara lain. Ketenaran dan peran besar yang disandangnya, berkat bandar niaga Donggala yang mendapat perhatian orang-orang untuk dijadikan salah satu kota jaringan perniagaan. Bahkan kapal pedagang Portugis pernah menyerang bandar ini, untuk dikuasai, sehingga terjadi saling serang antara pihak kerajaan dengan Portugis tahun 1669 di masa pemerintahan raja La Bugia Pue Uva dan dapat mempertahankannya.

Sebelumnya pedagang dari Gujarat (India), Arab dan Cina sudah sering mendatangi kota itu. Mereka membawa barang-barang untuk dijual dan sebaliknya membeli hasil bumi berupa; rotan, damar, kayu cendana, dan repah-rempah. Kemudian pedagang Gujarat tahun 1767 mulai memperkenalkan cara menenun kain sutra yang kini dikenal sarung Donggala yaitu pada masa pemerintahan raja Banawa I Sabida (1758-1800).

Makin ramainya bandar ini, membuat bangsa-bangsa asing berdatangan dengan kepentingan masing-masing. Bahkan jauh sebelum itu telah terjalin jaringan pelayaran dan perdagangan sebagaimana diungkapkan Indonesianis dari Prancis, Ch. Pelras dalam buku Citra Masyarakat Indonesia (PT. Sinar Harapan), menyebutkan sebuah naskah Cina paling tua diterbitkan dalam bentuk terjemahan tentang daerah Nusantara yang disampaikan oleh J.V.Mills dalam Archipel No. 21 (Chinese Navigation) halaman 79 menyebut hanya mengenai Donggala di Sulawesi sesudah tahun 1430.

Jadi jelas sebelumnya sudah menjadi kota penting memiliki daya tarik bagi pedagang, terutama untuk membeli kayu cendana (Santalum album), salah satu jenis kayu bernilai ekonomi tinggi banyak dicari pedagang dari Eropa. Orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi Selatan bernama Antonio de Paiva dalam tahun 1542-1543 yang bermaksud mendapatkan kayu cendana, menurut Pelars rupanya diperkirakan bisa diperoleh di daerah Donggala. Saat itu di daerah Kaili banyak ditumbuhi pohon cendana akar. Kesaksian terakhir disampaikan oleh seorang peniliti Dr. Boorsman, pernah menemukan beberapa batang pohon cendana di pegunungan yang hampir gundul di sekitar Palu-Donggala. Sayang jenis kayu ini sudah punah, kecuali tinggal beberapa pohon masih dapat ditemui di suaka alam Poboya, Palu Timur.

Dalam perkembangannya, Donggala bukan saja dikenal kota pelabuhan, tapi juga kota pelajar, kota niaga (perdagangan), kota pemerintahan, kota perjuangan dan kota budaya yang sering mendapat kunjungan. Josep Condrad, misalnya seorang pengarang berkebangsaan Inggris kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat penjelajahan Nusantara (1858-1924) dan sempat menjalin persahabatan dengan La Sabanawa I Sangalea Dg Paloera, raja Banawa ke-7 (1845-1888).

Tapi pemerintah Hindia Belanda-lah yang akhirnya menguasai penuh bandar ini setelah sejak lama melakukan penaklukan dengan memaksa raja menandatangani berbagai perjanjian, salah satu cara penaklukan halus. Raja Banawa ke-VI, I Sandudongie, tahun 1824 terpaksa menandatangani kontrak dengan Pemerintah Belanda, demikian pula kerajaan-kerajaan lain mengalami hal yang sama. Berbagai penekanan dan adudomba, dapat memuluskan Belanda membangun Kantor Doane dan berbagai fasilitas perkantoran, demi memperlancar monopli perdagangan dan kekuasaan segala hal.

Maka sejak awal abad 20, kedudukan Belanda makin kuat menjalankan kekuasannya di Donggala hingga kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pada masa kemerdekaan itu, Donggala masih tetap mengandalkan bandar lautnya dalam beberapa dekade sebagai pintu gerbang pendistribusian barang-barang produksi ke berbagai kota di Sulteng.

Jadi Donggala sebagai kota dan pelabuhan adalah ibarat satu jiwa dan raga yang tak terpisahkan. Tapi sayang dalam perjalanan sejarah kota pelabuhan ini mengalami pasang-surut yang tidak lepas dari percaturan politik berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Bukan saja kehadiran pemerintah Belanda terlalu banyak menimbulkan konflik dan adu-domba antarkerabat raja-raja. Pendudukan tentara Jepang dan kehadiran tentara Sekutu/NICA dalam Perang Dunia II, membuat kota yang dibangun ratusan tahun silam kembali kecipratan sengsara dengan hantaman bom sehingga porak-poranda.

Memang fungsi pelabuhan bukan saja jadi nadi perekonomian, tapi juga menjadi area kebudayaan dan politis pergerakan perjuangan kemerdekaan. Sekedar contoh, ketika terjadi penolakan pendudukan Belanda yang diboncengi Sekutu/NICA, barisan Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) melakukan penurunan bendera merah-putih-biru milik pemerintah Hindia Belanda di halaman Kantor Doane (Bea dan Cukai), Pelabuhan Donggala, 21 November 1945.

Tahun 1957 pemberontak Permesta membombardir pelabuhan dengan serangan udara pesawat Bomber AUREV B-26, mengakibatkan lima kapal perang RI (Moro, Giliraja, Mutiara, Insumar dan RI Palu) yang sedang berlabuh tenggelam bersama peralatan perang; senjata, truk, tank dan bermacam perbekalan perang, serta menewaskan sejumlah anak buah kapal dan nahkoda kapal Moro.

Rebutan dan penderitaan belum sampai disitu. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengalihkan fungsi dan status pelabuhan nasional Donggala ke Pantoloan tahun 1978, redup pula mobilitas perekonomian dalam kota. Bahkan hingga kini di era reformasi, episode “rebutan” masih akan berlanjut entah sampai kapan?

Ketika cerita kejayaan masa silam itu dibuka kembali, seakan hanya sebuah legenda bagi generasi mendatang. Tapi itulah sebuah geliat budaya yang pernah berproses di sebuah pelabuhan. *
Foto kerajaan / kingdom Banawa
1) Tentang Raja / About the King

7 okt. 2014: Dari Banawa Emperor Family Community (FB): Raja Banawa terakhir , Laparenrengi Lamarauna, Raja Banawa ke 13, Beliau sudah wafat.
2) Sejarah / History Banawa

Sebelum ditaklukkan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1904 wilayah Kabupaten Donggala adalah wilayah Pemerintah raja-raja yang berdiri sendiri-sendiri yaitu:
1. Kerajaan Palu
2. Kerajaan Sigi Dolo
3. Kerajaan Kulawi
4. Kerajaan Biromaru
5. Kerajaan Banawa
6. Kerajaan Tawaili
7. Kerajaan Moutong
8. Kerajaan Parigi
Kerajaan Banawa didirikan oleh Sawerigading dengan puteranya bernama La Galigo. Dengan perahu layar yang ramping bernama Banawa, mereka mengarungi lautan sampai ke pesisir barat Sulawesi Tengah dan berlabuh di sebuah pantai kira-kira 7 km dari kota Donggala sekarang.
Pada zaman pemerintahan Raja Banawa VII La Sa Banawa dan Raja Banawa IX La Marauna, Kerajaan Banawa yang merupakan kerajaan lokal memiliki luas wilayah sekitar 460.000 Ha.
Sejak pemerintahan Raja Banawa VII La Makagili, Kerajaan Banawa yang berpusat di Pudjananti tepat pada Tanggal 23 Juli 1893 dipindahkan ke Donggala. Sejak itu, Donggala menjadi ibukota Kerajaan Banawa sampai pada akhir pemerintahan Raja Banawa XII Andi Parenrengi atau La Parenrengi. Sejalan dengan dihapusnya daerah-daerah Swapraja di seluruh Indonesia, sekarang Banawa hanyalah sebuah kecamatan dari ibukota Kabupaten Donggala.
Setelah Indonesia merdeka, Raja La Ruhana kembali dapat emerintah dengan leluasa hingga mangkat di tahun 1947. Pengganti beliau adalah Raja La Parenrengi Lamarauna, yang menjadi raja terakhir kerajaan Banawa. Hal ini dikarenakan Banawa dijadikan Kabupaten di Sulawesi Tengah pada 12 Agustus 1952.
3) Daftar Raja / List of kings

1) Raja Banawa I  Bernama I Badantasa,
2) 1552 – 1557: Raja Banawa II,  Bernama I Tasa Banawa,
3) 1650 – 1698: Raja Banawa III,  Bernama Intoraya
4) 1698 – 1758: Raja Banawa IV,  Bernama La Bugia,
5) 1758 – 1800: Raja Banawa V,  Bernama Isa Bida, raja wanita
6) 1800 – 1845: Raja Banawa VI,  Bernama Puteri Sandudogie, raja wanita
7) 1845 – 1889: Raja Banawa VII, Bernama La Sa Banawa (bergelar “Mpue Mputi”)
8) 1889 – 1903: Raja Banawa VIII,  Bernama La makagili,
9) 1903 – 1926: Raja Banawa IX,  Bernama La Marauna (bergelar “Mpue Totua”).
10)1926 – 1932: Raja Banawa X,  Bernama La Gaga
11) 1932 – 1947: Raja Banawa XI,  Bernama La Ruhana
12) 1947 – 1959: Raja Banawa XII,  Bernama La Parenrengi, putera bungsu Raja La Marauna menikah dengan Hajja Sania Tombolotutu. La Parenrengi adalah Ketua PNI Pertama di Sulawesi Tengah sekaligus menjadi raja terakhir pada mas Kerajaan Banawa, ia meninggal di Palu pada tahun 1986.


Banawa, Sulawesi - kerajaan Banawa. Raja Banawa ke-IV: Labugia (Mpue Uva). 1698-1758.Banawa, Sulawesi - kerajaan Banawa. Raja Banawa ke-VII: Lasabana I Sanggalea. 1845-1889.Banawa, Sulawesi - kerajaan Banawa. Raja Banawa ke-IX, Lamarauna. 1903-1926.



Banawa, Sulawesi - kerajaan Banawa. Raja Banawa ke-X: Lagaga. 1930-1932.Banawa, Sulawesi - kerajaan Banawa. Raja Banawa ke-XI: Laruhana. 1935-1947.Banawa, Sulawesi - kerajaan Banawa. Raja Banawa ke-XII: Laparenrengi Lamarauna. 1947-1959.


Banawa, Sulawesi - Kerajaan Banawa. Raja Banawa 2009
Banawa, Sulawesi - Kerajaan Banawa. Raja Banawa 2009

Palu, Tawaili, Sigi, Banawa, Sulawesi - Raja dari Kerajaan Palu, Kerajaan Tawaili, Kerjaan Sigi dan Kerajaan Banawa.
Palu, Tawaili, Sigi, Banawa, Sulawesi - Raja dari Kerajaan Palu, Kerajaan Tawaili, Kerjaan Sigi dan Kerajaan Banawa.


Banawa, Donggala - Kerajaan Banawa. Rumah Raja 1930
Banawa, Donggala - Kerajaan Banawa. Rumah Raja 1930


Saturday, February 27, 2016

Rempah-rempah : Petaka dan Anugerah

Rempah-rempah bernilai seberat emas, dan sumbernya terselubung dalam kerahasiaan. Karena penting dalam perdagangan internasional, rempah-rempah telah membangkitkan gairah politik dan kekuasaan-kekuasaan baru. Di Nusantara, rempah ini merupakan bagian dari sejarah “kelam” dan juga cerita kebanggaan dari masa keemasan perdagangan. Nusantara pada masa itu seolah menjadi tanah yang dijanjikan.
Kapan perdagangan internasional rempah dimulai belum begitu jelas tentang catatan sejarahnya. Syahdan, pada abad ke-4 Sebelum Masehi raja-raja Cina mengirim beberapa orang untuk mencari bahan-bahan yang dapat memperpanjang usia dan rahasia tentang hidup kekal. Mereka kemudian berkelana ke pulau-pulau menakjubkan. Namun, banyak di antara orang-orang yang pergi itu tidak pernah kembali. Sebagian dianggap telah  mencapai Jepang dan tinggal dengan damai. Sebagian lagi kabarnya tiba di India, dan bahkan ada yang mencapai benua yang kelak disebut Amerika. Kemisteriusan orang-orang yang tidak pernah kembali itu justru telah menambah semangat orang Cina lainnya untuk terus melakukan penjelajahan, kali ini mereka mengarungi perjalanan laut yang penuh dengan risiko.
Seabad kemudian, pada masa Cina dikuasai oleh Dinasti Han ada peraturan ketat untuk para pejabat Kekaisaran dan utusan lainnya, bahwa mereka harus terlebih dahulu mengunyah cengkih ketika akan menghadap Sang Kaisar. Rupa-rupanya, orang Cina itu telah berhasil mendarat di sebuah tempat asal “obat panjang usia” yang tumbuh dengan subur di Maluku.
Jauh sesudahnya, sejumlah kronik Cina yang ditulis pada abad ke-14. Catatan bertarikh 1350 memuat kabar bahwa Maluku sebagai asal cengkih dan kapal-kapal pengelana dan pedagang Cina yang dahulu telah berhasil berlayar langsung ke daerah Maluku mulai mengurangi intensitasnya karena cengkih sudah dengan mudah mereka dapatkan di Banda-bandar dagang—selain pedagang Cina, Pedagang Jawa, Sumatra, India, Gujarat, dan Arab telah mengetahui nilai ekonomi dari komoditas cengkih.
Peta dan Rempah-rempah”, Gambar oleh Wacana Nusantara
Peta dan Rempah-rempah

Sejarah pelayaran guna menemukan rempah-rempah, selain dilakukan bangsa Cina pada abad ke-3 Sebelum Masehi—dan kelak bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-16 Masehi—cengkih ternyata telah lama digandrungi oleh bangsa Mesopotamia, bahkan sejak 1.700 Sebelum Masehi! Hal ini sekurang-kurangnya didasarkan bukti arkeologis dari penemuan jambangan di situs penggalian Terqa, Efrat Tengah, Syria yang berisi cengkih. Terqa masa lalu, adalah salah satu wilayah dari peradaban Mesopotamia. Penggalian yang dilakukan oleh arkeolog Giorgio Buccellati di rumah seorang —yang diperkirakan pedagang—membuatnya terkagum-kagum. Awalnya sang arkeolog juga tidak percaya, setelah diteliti bersama rekannya yang ahli paleobotani (botani purbakala), Kathleen Galvin, yakin lah ia bahwa benda tersebut memang cengkih. Bagaimana cengkih yang hanya tumbuh di Maluku itu bisa mencapai wilayah Mesopotamia? Dan yang lebih mencengangkan lagi bagaimana bisa pada abad ke-17 Sebelum Masehi? Saat ini, kami masih mencari tahu.
Sejauh ini Jika kita menelaah sumber-sumber Romawi Kuno, seperti catatan Pliny The Elder (Si Tua Pliny) yang diperkirakan hidup awal Masehi, maka akan didapati informasi tentang sekelompok pelaut gagah berani dari Timur. Juga dari Claudius Ptolemaeus, ahli ilmu bumi Yunani dalam bukunya “Geographike Hyphegesis” yang menyebut daerah-daerah di timur jauh bernama Argyre (berarti perak atau Merak?) yang terletak di sebelah barat Iabadiou. Iabadiou ini ada yang menyamakan dengan Jawa, ada juga yang menyamakan dengan Kalimantan, dan Pulau Sumatra. Tapi jelaslah bahwa yang dimaksud adalah Nusantara.
Pedagang dari Timur datang ke Yunani membawa pelbagai barang dagang yang “eksotis” termasuk diantaranya kayu manis yang disebut cassia. Hingga 500 tahun Sebelum Masehi, nyatanya orang-orang kaya di kota-kota Yunani telah memelihara burung merak di pekarangan mereka, seiring dengan perdagangan antara Yunani, Romawi, dan India menjadi pesat. Perlu digarisbawahi,  baik kayu manis atau burung merak tersebut ditenggarai berasal dari Nusantara. Walau tulisan-tulisan Yunani kuno itu tidak bersangkutan paut dengan cengkih, dapat kita bayangkan bahwa pengangkutan burung merak dan juga cassia itu bersamaan dengan pengangkutan rempah-rempah seperti cengkih.
Akan tetapi, keberadaan cengkih di Mesopotamia—38 abad yang lalu—tetap merupakan sebuah misteri. Apakah para pelaut Maluku yang terkenal berani itu telah membelah samudra sepanjang ratusan mil ke negeri para nabi—Jika memang cengkih tersebut dibawa oleh mereka—atau orang Mesopotamia mendapatkan cengkih dari pelaut Arab, Afrika atau India yang telah membawa rempah-rempah itu dari Maluku? Sekali lagi, kami belum tahu.
Sebelum para pelaut Eropa terlibat langsung dalam perdagangan dan distribusi cengkih pada abad ke-16, cengkih yang ada di seluruh dunia itu hanya berasal dari lima pulau di barat Halmahera: Bacan, Makian, Moti, Ternate, dan Tidore. Cengkih bersama komoditas terkenal lainnya seperti wewangian, kayu cendana, bulu cenderawasih, lada dan pala, cula badak, intan, emas, rotan, dan barus pernah menjadi primadona yang membuat para pedagang dari seluruh penjuru dunia berlomba-lomba mendapatkannya, menguasainya, dan bahkan tak ayal dengan melakukan berbagai cara. Sejarah Mencatat bahwa rempah-rempah itu telah menjadi anugerah, sekaligus petaka yang mengerikan.
Perdagangan dan Perang rempah-rempah
Sebelum Portugis tiba di Pulau Banda tahun 1512, perdagangan rempah dilakukan oleh pelaut Gujarat, Arab, Jawa, Cina, dan Sumatra yang berhubungan dengan para tengkulak Venesia. Mengharap menemukan rempah baru, cadangan baru, jalur lebih baik, kemasyhuran, dan harta kekayaan, membangkitkan pelayaran besar-besaran dilakukan untuk menemukan sumber awal—seperti yang dilakukan oleh orang Eropa abad ke-15 dan ke-16. Tiga abad kemudian, Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris bertempur untuk me-monopoli, mengawasi, dan menghancurkan rempah-rempah.
Rempah tercatat telah diimpor ke Constantinopel abad ke-6 dan menyebar di antara bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-12. Sampai abad ke-18 pulau Banda, meliputi wilayah yang luasnya 50 km2 , merupakan satu-satunya sumber pala dan bunga pala di dunia. Sumber rempah ini tertutup, hanya untuk beberapa pedagang Arab, sampai Portugis menemukan pulau itu awal abad ke-16. Pada saat itu, pulau ini merupakan tempat penyaluran barang-barang penting, juga perdagangan cengkih dari Ternate dan Tidore, bulu burung cenderawasih, serta budak.
Pengumpulan dan pengangkutan rempah Maluku setelah pelaut dan Pedagang Cina mengurangi intensitasnya, distribusi rempah khususnya ke belahan barat ditangani orang-orang Melayu Sumatra, Jawa, Makasar, dan Banda—terletak di selatan Maluku, penghasil pala dan bunga pala yang sangat terkenal pada abad ke-17).
Para pedagang Maluku membawa rempah-rempah mereka ke pelabuhan untuk dijual kepada pedagang yang kebetulan lewat. Orang Portugis lah yang meminta untuk memisahkan cengkih dari daun dan ranting, mengeringkan, lalu memasukkan ke dalam karung. Selanjutnya pembudidayaan baru dari rempah-rempah terutama cengkih dan pala ini dilakukan oleh penduduk di wilayah Maluku dan Banda sebagai penyesuaian akan kebutuhan pedagang-pedagang Eropa.
Akhirnya Belanda dan Inggris datang membangun benteng; banyak yang hilang dalam merebut kekuatan dan keuntungan. Untuk mengatur monopoli perdagangan pala, Belanda menebangi pohon rempah yang berada di wilayah jauh dari pengawasan VOC, antara tahun 1652-1653, dikenal dengan politik extirpatie (pemusnahan) agar tetap mengendalikan dan menjaga harga yang tinggi di  pasaran Eropa, Belanda ber tindakan di luar batas. Banyak laki-laki Banda harus kehilangan nyawa. Mereka juga membagi tanah antara kelompok bekas narapidana dan petualang yang menggunakan budak belian untuk memanen pala. Hampir 50 tahun setelahnya, Inggris menyerahkan lebih dahulu Run di barat pulau Banda untuk ditukar dengan Pulau Manhattan milik Belanda. Sementara itu Inggris mengambil pala ke Penang dan India Barat.
Pala
Pala (Myristica fragans) merupakan pohon hutan yang kecil tinggi sekitar 18 meter. Tumbuh baik di keteduhan pohon tinggi lainnya. Tumbuhan ini berkulit abu-abu tua, dau mengkilat panjang, seperti rhododendron, bunga kecil kuning, serta menghasilkan buah berukuran dan berwarna seperti aprikot. Pembelahan terbuka ketika masak menampakkan biji coklat mengkilap dengan aril seperti jala berwarna merah cerah yang menarik kawanan burung besar yang merupakan pelaku utama persebaran biji pala.
Ketika kering, aril dijual sebagai bunga pala dan biji bagian dalam ditumbuk menjadi tepung pala. Pala dan bunga pala digunakan sebagai penyedap, pengawet, obat,serta parfum, dan bahan kosmetik. Bunga pala terasa sama dengan pala tetapi lebih halus dan karena itu lebih mahal. Kulit pohon pala tipis dan ketika digores menghasilkan cairan merah, yang ketika kering berwarna gelap sampai warna darah kering.
Cengkih
Cengkih (Syzgium aromaticum) merupakan pohon rendah, mencapai tinggi 9-12 meter. Banyak daerah Nusantara mempunyai sisi bukit yang ditumbuhi pohon berujung khas dengan daun hijau-oranye-kemerahan ini. Seperti kebanyakan tumbuhan bawah pohon, cengkih tidak dapat berbiak pada matahari penuh dan mempunyai biji yang dapat berkecambah dalam waktu yang relatif pendek.
Cengkih ditanam dengan biji di persemaian yang teduh dab ditanam setelah dua tahun. Penggunaan cengkih yang sebenarnya adalah bunganya, se-gugus bunga yang tumbuh di ujung cabang. Bunga yang belum terbuka itu dipetik hati-hati dan keringkan di bawah matahari sebelum ditumbuk atau digunakan seluruhnya. Pohon setinggi 8 meter menghasilkan 2-3 kilogram cengkih kering per-tahun.
Cengkih dikenal oleh orang Cina abad ke-3 Sebelum Masehi, yang mendatangkan nama warna-warni, Ordiferous nail. Cengkih digunakan di Eropa abad ke-4. Sebelum Belanda langsung terlibat, semua cengkih di dunia datang dari hanya lima pulau kecil di sebelah barat Halmahera: Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan.
Walaupun pala dan bunga pala dijual secara besar-besaran, cengkih yang menguasai perdagangan sehingga berarti nilai moneter pada waktu itu. Kini, sulawesi utara menanam seperempat cengkih nasional, diikuti Jawa tengah, Lampung, dan Sumatra Barat. Saat ini Pulau Banda menghasilkan sedikit pala, kebanyakan datang dari Sulawesi, Grenada, dan Sri Lanka; walaupun masih mungkin mengunjungi rumpun pala yang wangi di bawah knopi pohon Canorium di Lontar, Pulau Banda yang terbesar.
Banyak daerah Indonesia “demam cengkih”; tanah tandus dan pinggir hutan mereka tanami cengkih dengan harapan mendapat keuntungan. harapan petani sia-sia akibat harga rendah, serta hama seperti kumbang pengerek, yang menghabiskan ribuan hektare perkebunan cengkih.
Cengkih digunakan untuk bumbu masakan, kesehatan dan pemeliharaan gigi, sebagian besar di antaranya digunakan untuk perusahaan kretek, Kira-kira 85% dari hampir 30.000 ton cengkih indonesia digunakan setiap tahun untuk industri itu. Kini hampir seperempat jumlah itu diimpor, terutama dari Zanzibar, Afrika Timur.

Menelusuri Jejak Kerajaan Banggai

Kerajaan Banggai; Menelusuri Jejak Kerajaan Banggai

 

Wilayah Kerajaan Bang­gai saat ini mencakup Kabupaten Banggai Kepulauan dan atau Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut buku Babad Banggai Sepin­tas Kilas, kerajaan ini di­perkirakan berdiri pada 1525. Jika merujuk kepada Nagarakretagama, kitab yang ditulis oleh Mpu Prapanca bertarikh 1278 Saka (1365 Masehi), Prapanca menyebut sebuah tempat bernama Banggawi.
Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun Benggawi, Kuni, Galiayo, Murang Ling Salayah, Sumba, Solor, Munar, Muah, Tikang, I Wandleha, Athawa Maloko, Wiwawunri Serani Timur Mukadi Ningagaku Nusantara”.
Untuk saat ini, masih cukup sulit menulisan sejarah Kerajaan Banggai sebelum abad ke-14. Apakah Banggawi yang dibicarakan Prapanca itu Banggai, atau lebih jauh lagi apakah Prapanca itu menyebut Banggawi sebagai sebuah kerajaan atau hanya nama tempat?
Banggai dipercaya telah menjadi kerajaan sebelum abad ke-14, informasi tersebut oleh beberapa pihak —selain dihubungkan dengan pernyataan Prapanca dalam Nagarakrtagama—  juga kerap dihubungkan dengan kronik Cina tahun 1178 Masehi karya Chu Ku fei, yang dalam bukunya berjudul  Ling-wai, menulis bahwa Banggai adalah kerajaan kecil yang termasuk kedalam sebelas wilayah dari Kerajaan Kediri, Panjalu (1041 Masehi), yang meliputi Ping ye (Banggai), Pai Hua yuan (Pacitan), Me tung (Medang), Ta pen (Tumapel), Jung ya lu (Hujung Galu), Ta kang (Sumba), Huang ma chu (Papua Barat daya), Ma li (Bali), Khu lun (Gurun Lombok), Ti wu (Timor), Ping ye (Banggai) dan Wa nu ku (Maluku).
Dalam khasanah masyarakat Banggai sendiri, sumber untuk mengungkap cerita ini bisa ditemukan dari tradisi lisan mereka atau dari balelee, cerita yang disampaikan oleh seseorang yang “kemasukan” roh halus dengan cara dinyanyikan.
Bagaimanapun hasil temuan kita sekarang, penulisan sejarah untuk kerajaan Banggai —dan umumnya untuk penulisan sejarah kuna Indonesia— seharusnya tidak  berada dalam posisi final, masih banyak data dan fakta yang bisa berkembang seiring bukti baru yang kelak ditemukan.

Sejarah Kerajaan Banggai
“Wilayah Kerajaan Banggai” Gambar oleh Wacana Nusantara
Wilayah Kerajaan Banggai

Konon, nama Banggai dahulu bernama “Tano Bolukan”. Tano Bolukan merupakan suatu kerajaan tertua di daerah Banggai Kepulauan yang merupakan hasil penggabungan kerajaan-kerajaan kecil. Syarif (2008) yang menulis tentang sejarah kerajaan Banggai dalam bukunya “Sekilas Tentang Kerajaan Banggai” memberi gambaran tentang empat kerajaan ini. Bahwa di wilayah kekuasaan kerajaan Banggai berdiri empat kerajaan yang memiliki wilayah yang berdaulat atas wilayahnya; Babulau + 5 km dari desa Tolise Tubuno, Kokini berkedudukan di desa Lambako, Katapean berkedudukan di desa Sasaba + 5 km. Monsongan dan Singgolok berkedudukan di Bungkuko Tatandak+ 7 km dari desa Gonggong.
Keempat kerajaan tersebut dipimpin oleh sekumpulan pemimpin yang di sebut dengan “Basalo Sangkap” (Empat Besar) yang pada masa Kerajaan Banggai mereka selanjutnya berfungsi sebagai Dewan Kerajaan. Basalo Sangkap inilah orang-orang Tano Bolukan, atau orang-orang Banggai menamakan dan menganggap mereka itu “Tano Bukuno” atau “Tano Tumbuno” artinya yang mempunyai tanah atau orang Banggai asli.
Sementara itu Setyo Utomo-Jaya Marhum (1995:25) dalam bukunya “Selayang Pandang Kabupaten Banggai” menyatakan pada awalnya daerah yang sekarang dikenal sebagai kabupaten daerah tingkat II tingkat Banggai banyak berdiri kerajaan. Satu dari sekian kerajaan itu, yang tertua bernama kerajaan bersaudara Buko-Bulagi. Letak kerajaan itu di Pulau Peling (Peleng) belahan barat. Belakangan muncul pula kerajaan-kerajaan baru seperti, kerajaan Sisipan, kerajaan Liputomundo, Kadupang. Kesemuanya ada di pulau Peling tengah. Masa itupun telah berdiri kerajaan yang cukup besar yakni Bongganan di sebelah timur Peling. Upaya memekarkan kerajaan Bongganan dilakukan salah seorang pangeran dan beberapa bangsawan kerajaan Banggai. Kala itu kerajaan Banggai wilayahnya hanya meliputi pulau Banggai.
Di Banggai Darat pada masa itu berdiri pula kerajaan Bualemo di sebelah utara. Di bagian selatan, ada kerajaan tiga bersaudara Motiandok, Balalowa, di tambah satu kerajaan lagi bernama Gori-Gori di bagian paling selatan. Perkembangan kerajaan Banggai yang terpusat di pulau Banggai, mulai pesat dan menjadi Primus Inter Peres atau yang utama dari beberapa kerajaan yang ada. Ketika pemerintahan kerajaan Banggai masih berada di bawah pimpinan kesultanan Ternate akhir abad 16.
H. S. Padeatu (2005:28) dalam bukunya “Sepintas Kilas Sejarah Banggai” juga mengatakan di Banggai kepulauan terdapat beberapa kerajaan kecil yaitu kerajaan Buko (di kecamatan Buko sekarang), Bulagi, Peling, dan Saluap (di kecamatan Bulagi sekrang), Lipotomundo, Kadupang dan Sisipan (di kecamatan Liang sekarang), Bonggananan (di kecamtan Tinakung dan kecamatan Totikum sekarang) dan Banggai (kecamatan Banggai, kecamatan Bangkurung dan kecamatan Labobo sekarang).
Semua yang berada di kerajaan-kerajaan tersebut adalah penduduk asli yang mengunakan bahasa Aki (bahasa Banggai, artinya: Tidak). Kerajaan yang terkenal dari semua kerajaan itu, termasuk kerajaan Tompotikka di Banggai Darat dan kerajaan Bongganan di Banggai kepulauan, ialah kerajaan Banggai di Banggai kepulauan. Bahkan, sampai saat ini nama “Banggai“ masih tetap di pakai sebagai nama dan kabupaten yaitu kabupaten Banggai dan kabupaten kepulauan.

Sistem pemerintahan Kerajaan Banggai

Pengaruh agama dan juga budaya Islam pada kerajaan-kerajaan di Sulawesi sangat besar pengaruhnya terutama pada abad ke-16 dan seterunya. Perkembangan agama Islam di Sulawesi khususnya di Wilayah Sulawesi Tengah merupakan dampak dari perluasan yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Sulawesi Selatan. Pengaruh ini mula-mula mungkin berasal dari Kerajaan Bone dan Wajo daerah-daerah yang mendapat pengaruh Islam pertama kali besar kemungkinan adalah daerah-daerah di pesisir.
Tome Pires dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental mengatakan bahwa di zamannya itu sebagian besar raja-raja yang ada Nusantara sudah beragama Islam, akan tetapi masih tetap ada daerah-daerah atau negeri yang belum menganut agama Isalam di Nusantara. Penyebaran agama Islam di lakukan di daerah-daerah pesisir pantai para pedangang- pedangang muslim dari Gujarat (Persia) dan para pedangang tersebut menikah dengan masyarakat setempat dan terjadilah percampuran kepercayaan.
Selanjutnya di Indonesia bagian timur agama Islam tiba dan berkembang di “kepulaun rempah-rempah” Maluku Indonesia Timur. Para pedangang muslim dari Jawa dan Melayu menetap di pesisir Banda, tetapi tidak ada seorang raja pun disana, dan daerah pedalaman masih di huni oleh penduduk nonmuslim. Ternate, Tidore, dan Bacan mempunyai raja-raja muslim. Penguasa-penguasa Tidore dan Bacan memekai gelar “Raja”, tetapi penguasa Ternate telah menggunakan gelar “Sultan”, dan raja Tidore bernama Arab, al-Mansur.
Pengaruh kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan tidak hanya pada perubahan pada sistem kepercayaan, Islam bahkan mempengaruhi pada bentuk pemerintahan. Tata struktur pemerintahan kerajaan di Sulawesi Tengah kemudian terbagi mengikuti susuan pemerintahan Kerajaan Bone dan juga Kerajaan Wajo, yaitu bentuk Pitunggota dan Patanggota.
Pitunggota merupakan sebuah lembaga yang terdiri dari 7 anggota yang dipimpin oleh seorang Baligau. Sedangkan Patanggota terdiri dari Baiya, Lambara, Mpanau, dan Mupabomba.
Pangaruh lainnya datang dari Wilayah Mandar. Beberapa kerajaan yang berada di Teluk Tomini ditelusuri berasal dari daerah Mandar yang cukup mencolok adalah penggunaan istilah “raja”. Sebelumnya di Teluk Tomini gelar Raja ini lebih dikenal dengan istilah Olongian, sebutan untuk tuan-tuan tanah yang berkuasa di daerahnya masing-masing.
Kerajaan-kerajaan yang berada di Teluk Tomini juga mendapat pengaruh dari Kerajaan-kerajaan Gorontalo dan Ternate terutama struktur pemerintahannya meliputi pembagian dan wilayah kekuasaanya seperti Kepala Negara (Olongian), Perdana Mentri  (Jogugu), Mentri Pertahanan laut (Kapitan Laut), Mentri Keuangan (Walaapulu), Mentri Perhubungan (Ukum), dan Mentri Penerangan (Madinu).
Untuk urusan pemerintahan di Kerajaan Banggai, di pegang langsung oleh seorang Raja atau Tomundo atau Tuutuu. Raja di pilih dan di angkat oleh Basalo Sangkap (Dewan Kerajaan) langsung dari keturunan atau sekurang-kurangnya ada ikatan hubungan keluarga dengan raja. Selain itu, Basalo Sangkap juga memperhatikan kesanggupan dan kecakapan untuk memimpin. Basalo Sangkap menjadi seperti lembaga legislatif yang kemudian bertugas dalam memilih serta melantik, dan juga memberhentikan raja Banggai. Basalo Sangkap dengan kedudukannya sebagai lembaga tinggi yang sejajar dengan Raja (Tomundo). Basalo Sangkap mengurusi urusan Legislatif dan juga penasihat Tomundo. Sedangkan Tomundo membidangi urusan Eksekutif (pemerintahan kerajaan).
Adapun Dewan Kerajaan (Basalo Sangkap) yaitu terdiri dari:
  1. Raja Singgolok atau Basalo Gong-gong.
  2. Raja Katapean atau Basalo Monsongan.
  3. Raja Boobulau atau Raja Dodung.
  4. Raja Kokini atau Basalo Tano Bonunungan.
Ketika keempat raja yang men­jadi Basalo Sangkap itu meninggal, posisi mereka kemudian digantikan keturunannya atau mereka yang memi­liki hubungan keluarga. Hingga kini, ketu­runan dari Basalo Sangkap kabarnya masih ada.
Selain Basalo Sangkep, Raja juga dibantu oleh “komisi empat” yang diangkat secara langsung oleh raja yang sedang berkuasa dengan persetujuan Basalo Sangkap, yang terdiri dari:
  1. Mayor Ngopa (Raja Muda)
  2. Kapitan Laut (Kepala Angkatan Perang)
  3. Jogugu (Mentri Dalam Negeri)
  4. Hukum Tua (Pengadilan)
Basalo Sangkap juga mempunyai wilayah kekuasaan yang dipegang mereka dan masing-masing mempunyai staf inti yang dipilih serta diangkat langsung oleh raja de­ngan mendapat persetujuan Basalo Sang­kap seperti: Jogugu yang memegang kekuasaan di Banggai dan Labobo Bangkurung dan sekitarnya, mempunyai staf Kapitan, Kapitan Lonas, Kapitan Kota. Mayor Ngopa yang berwenang di Teluk Tomini memiliki staf seperti Letnan Ngofa, Kaputan Prang, dan Letnan Dua. Kapitan laut mempunyai wilayah kekuasaan Dari Batui sampai ke Balantak mempunyai Staf Syah Bandar, Bea Cukai. Hukum Tua yang memiliki cakupan kekuasaan di Seluruh Peling mempunyai Staf Mahkamah dan Pengadilan.
Selain dari komisi empat tersebut, raja juga mempunyai staf pribadi untuk urusan pemerintah­an dan rumah tangga istana, seperti untuk bagian pemerintahan raja dibantu oleh Gimlaha Sadeha-Saseba, Panebela Bayu, Mian Tu Liang, Mian Tu Baasaan, Panebela Tololak, Mian Tu Palabatu. Untuk urusan Rumah Tangga dibantu oleh Genti dan Jeufana.
Agama Islam pun semakin giat dipelajari dan disebarluaskan. Pada masa Maulana Prins Mandapar yang mengepalai urusan agama Islam disebut “kale” atau “gadhi”. kale atau Gandi ini dibantu oleh beberapa iman diantaranya: Iman Sohi, Iman Tano Bonunungan, Iman Dodung, Iman Gong-gong dan Imam Monsongan. Iman dibantu oleh beberapa Hatibi atau Khatib. Dan Khatib-khatib ini juga dibantu oleh bebrapa Mojim Muazzim.
 Silsilah Raja Raja Banggai
Pada awal abad ke-16 Masehi, empat kerajaan (Babolau, Katapean, Kookini, dan Singgolok) diku­asai Kesultanan Ternate. Adi Cokro (Mbumbu Doi Jawa), seorang Pangeran dari kerajaan Demak yang juga merupakan panglima Perang Kesultanan Ternate, pada tahun 1530 Masehi kemu­dian berhasil menyatukan empat kerajaan menjadi Kerajaan Banggai yang memiliki ibu kota di Pu­lau Banggai. Adi Cokro inilah yang kemudian dianggap pendiri Kerajaan Banggai dan juga tokokh yang telah menyebarkan Islam di wilayah tersebut. Masyarakat Banggai juga mengenal seorang tokoh bernama Adi Soko, apakah tokoh ini sama dengan Adi Cokro? Dari fonologi dan atau juga fonetik memang cukup mirip.
Moh. Yamin (1972) dalam “Gajah Mada” menyebut tokoh Adi Cokro ini sebagai Raden Cokro yang merupakan keponakan Dipati Unus. Raden Cokro mendapat perintah ke Ternate untuk tujuan membantu Sultan ternate mengembangkan Islam serta memperkuat pasukan armada Ternate dari serangan Portugis. Sedangkan Albert C. Kruyt yang menulis buku “De Vorsten Van Banggai” (Raja-raja Banggai) secara terang-terangan mengatakan bahwa Adi Cokro adalah orang yang menaklukan Pulau Banggai, Peling dan Daratan Timur Sulawesi. Adi Cokro kemudian menikahi seorang wanita Ternate yang memiliki darah Portugis bernama Kastellia. Dari hasil perkawinan ini lahir seorang putra yang bernama Mandapar yang kelak menjadi Raja di Banggai.
Istilah atau gelar ”Adi” merupakan gelar bagi raja-raja atau bangsawan Banggai, hal yang sama mungkin dengan penggunaan gelar Raden Mas untuk bangsawan Jawa atau Andi dikalangan masyarakat bugis.
Sebe­lum Kerajaan Banggai berdiri, keempat kerajaan diberitakan selalu ber­selisih. Masing-masing pihak ingin menguasai wilayah yang lain. Konon persaingan itu tidak sampai mengakibatkan terjadinya peperangan, hanya saling mengadu kesaktian di antara para rajanya. Mungkin karena selalu ber­selisih ini, empat kerajaan ter­sebut dengan mudah jatuh dalam kekuasaan Kesultanan Ternate, seki­tar abad ke-16 Masehi. Setelah Adi Cokro berhasil menyatu­kan keempat kerajaan, ia kemudian kembali ke Pulau Jawa. Basalo Sangkap kemudian memilih Abu Ka­sim, putra Adi Cokro dari per­kawinannya dengan Nurussa­pa, putri Raja Singgolok, sebagai Raja Banggai. Se­belum dilantik, Abu Kasim berhasil dibunuh oleh bajak laut ketika melakukan pelayaran. Basalo Sangkap pun memilih Maulana Prins Manda­par dan melantiknya menjadi raja.
Maulana Prins Manda­par, anak Adi Cokro dari perkawinannya dengan putri Portugis-Ternate. Mandapar menjadi raja pertama kerajaan Banggai, berkuasa dari ta­hun 1600 Masehi sampai 1625 Masehi ada juga yang menyatakan Mandapar berkuasa sejak tahun 1571 -1601 Masehi.
Setelah berakhirnya kekuasaan Raja Mandapar, raja-raja Banggai yang menggantikan berikutnya terus berusaha melepaskan kerajaan Banggai dari Kesultanan Ternate. Konon Raja-raja itu juga menolak untuk bekerja sama dengan pihak Belanda yang pada tahun 1602 Masehi sudah berada di Bang­gai. Upaya agar bisa melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Ternate ini bahkan mengakibatkan sejumlah ra­ja Banggai harus mengahadapi hukuman buang. Perlawan­an Banggai yang paling gigih terjadi pada masa pemerintahan raja Mumbu Doi Bugis dengan meletusnya Perang Tobelo.
Berikut para Raja yang telah memerintah di Kerajaan Banggai:
  1. Maulana Prins Mandapar/Mumbu doi Godong (1571-1601)
  2. Mumbu doi Kintom (1602-1630)
  3. Mumbu doi Benteng (1630-1650)
  4. Mumbu doi Balantak Mulang (1650-1689)
  5. Mumbu doi Kota (1690-1705)
  6. Mumbu doi Bacan / Abu Kasim (1705-1749)
  7. Mumbu doi Mendono (1749-1753)
  8. Mumbu doi Pedongko (1754-1763)
  9. Mumbu doi Dinadat Raja Mandaria (1763-1808)
  10. Mumbu doi Galela Raja Atondeng (1808-1815)
  11. Mumbu Tenebak Raja Laota (1815-1831)
  12. Mumbu doi Pawu Raja Taja (1831-1847)
  13. Mumbu doi Bugis Raja Agama (1847-1852)
  14. Mumbu doi Jere Raja Tatu Tanga (1852-1858)
  15. Raja Saok (1858-1870)
  16. Raja Nurdin (1872-1880)
  17. Raja H. Abdul Azis (1880-1900)
  18. Raja H. Abdurracman (1901-1922)
  19. Haji Awaludin (1925-1940)
  20. Raja Nurdin Daud (1940-1949)
  21. Raja H. Syukuran Aminuddin Amir (1941-1957)
Sampai pada tahun 1957 raja-raja Banggai ini terhitung berjumlah 21 orang. Saat Raja Awaludin meinggal, tahun 1940, Basalo Sangkap kabarnya telah mengangkat Nuridun Daud yang waktu itu masih anak-anak dan masih berumur 10 tahun. Hal ini dilakukan untuk memenuhi aturan yang menyatakan bahwa sebelum raja di makamkan terlebih dahulu harus ada Raja yang telah ditunjuk sebagai penggantinya. Pengangkatan dan pelantikan tersebut disaksikan oleh tuan Asisten Residen Posso yang kebetulan ada di Banggai untuk menghadiri rapat kerja kerajaan Banggai. Pada tanggal 1 Maret 1941 ditunjuklah  Syukuran Aminuddin Amir  yang saat itu menjadi Mayor Ngopa menjadi “Raja”.
Abdul Bary dalam artikelnya yang berjudul “Meluruskan Sejarah Banggai” mengulas  mengenai status dan posisi Syukuran Aminudin Amir dalam sejarah Kerajaan Banggai yang menurutnya bukanlah Tomundo yang “terlegitimasi” secara sah oleh tata aturan hukum kerajaan Banggai, melainkan hanya sekedar sebagai pelaksana tugas harian dari Tomundo Banggai Nurdin Daud yang masih muda.  Syukuran Aminudin Amir ini tercatat sebagai Tomundo karena ia kemudian mengukuhkan diri sebagai Tomundo meskipun tanpa restu dan tidak melalui pengukuhan oleh Basalo Sangkap sebagaimana “ketentuan adat” kerajaan Banggai.
Berakhirnya Kerajaan Banggai.
Kerajaan Banggai berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Bangsa Portugis setelah Ternate jatuh ke tangan Portugis. Sebelumnya, pengaruh Portugis juga telah “ditularkan” dari Kesultanan Ternate yang selama ini cukup kental di Kerajaan Banggai. Kekuasan Portugis sepertinya mendapat penantang yang seimbang pada saat itu karena perlahan namun pasti kekuasaan Portugis mulai melemah seiring pengaruh Belanda yang kian kuat. David Niddeleton, seorang pelaut berkebangsaan Inggris yang pernah datang ke Banggai mengatakan jika pengaruh VOC di Banggai justru ada semenjak pemerintahan Maulana Prins Mandapar.
Bangsa Belanda datang ke Banggai pada tahun 1630 Masehi. Saat itu Raja yang berkuasa di kerajaan Banggai adalah raja Doi Benteng. Kedatangan Belanda disambut baik oleh rakyat Banggai karena mereka mengira Belanda akan membantu Kerajaan Banggai dari kesultanan Ternate. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Belanda justru berpihak pada kerajaan Ternate dan memonopoli perdagangan di wilayah Banggai. Pihak Belanda menjadi “penguasa” di kerajaan Banggai yang bahkan dengan leluasa telah membagi kerajaan Banggai menjadi Banggai Kepulauan dan Banggai Darat.
Setelah Kerajaan Ternate dapat ditaklukan oleh Sultan Alaudin (Mangari Daeng Manrabbia) dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) Kerajaan Banggai kemudian menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Gowa. Dalam sejarah Nusantara, Gowa pernah tercatat sebagai kerajaan yang cukup berpengaruh di Indonesia Timur.
Kerajaan Banggai di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa berlangsung selama kurang lebih 42 tahun dari tahun 1625 hingga tahun 1667 hal ini disebabkan karena pada tahun 1667 berlangsung perjanjian Bongaya Antara Laksamana Speelman (Belanda) dengan Sultan Hasanuddin (Kerajaan Gowa) salah satu isi perjanjian itu adalah membebaskan semua wilayah yang dahulunya dikuasai Ternate seperti Wilayah Balaesang, Banggai, Buol Toli-Toli, Dampelas, Gapi atau Pulau Peling, Kaidipan, kaili, Manado, Muna, Selayar, dan Silensak.
Raja Banggai ke-4, yaitu Raja Mbulang bergelar Mumbu Doi Balantak yang memerintah dari tahun 1681 hingga 1689 Masehi, tercatat telah melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda. Mbulang Doi Balantak dianggap telah menolak berkongsi dengan VOC.  Monopoli dagang yang diterapkan dinilai hanya menguntungkan Belanda dan menyengsarakan rakyat. Tapi pemberontakan itu tidak berlangsung lama karena Kerajaan Banggai berada di bawah kekuasaan Sultan Ternate yang waktu itu memiliki hubungan khusus dengan pihak Belanda.
9 November 1741 Masehi perjanjian VOC dengan Kerajaan Banggai “diperbaharui” oleh Raja Abu Kasim (Mumbu Doi Bacan). Meskipun perjanjian itu dilakukan, Abu Kasim secara sembunyi-sembunyi telah bekerjasama dengan Raja Bungku. Keputusan itu dilakukan Abu Kasim agar bisa melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Ternate. Akan tetapi, langkah yang ditempuh Raja Abu Kasim ini tidak bisa terlaksana karena ia kemudian ditangkap dan harus menerima hukuman buang ke Pulau Bacan (Maluku Utara), Ia pun akhirnya meninggal di tempat pembuangan.
Usaha yang dilakukan Raja-raja Banggai agar bisa melepaskan diri dari Kerajaan Ternate kemudian diteruskan oleh Raja Banggai ke-9, Antondeng bergelar Mumbu Doi Galela yang memerintah dari tahuan 1808 hingga tahuan 1829. Perlawanan Anondeng sebetulnya ditujukan kepada pihak VOC (Belanda). Raja Antondeng menilai bahwa perjanjian yang ada selama ini hanya menguntungkan pihak Belanda dan merugikan rakyatnya. Oleh sebab itu Antondeng kemudian melakukan “pemberontakan”. Raja inipun kembali ditangkap dan menerima hukuman buang ke Galela, Pulau Halmahera.
Sepeninggal Raja Antondeng, tampuk kekuasaan Banggai berada di bawah kekuasaan pemerintahan Raja Agama (Mumbu Doi Bugis) yang memerintah dari tahun 1829 hingga 1847 Masehi. Raja Agama ini sempat melakukan perlawanan dalam sebuah perang yang dikenal dengan nama peranga Tobelo. Perlawanan ini berhasil dipatahkan karena Ternate waktu itu telah didukung oleh armada laut yang cukup modern. Raja Agama berhasil lolos dan mengungsi ke wilayah Bone (Sulawesi Selatan), sampai wafatnya tahun 1874 ia masih berada di tempat pengungsian. Pusat dari perlawanan yang dilakukan oleh Raja Agama berlangsung di wilayah Kota Tua, di daerah Lolongo.
Selama abad ke-17 Masehi, wilayah-wilayah di Sulawesi Tengah juga mulai berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. VOC membangun benteng di Lambunu dan Parigi Dengan dalih agar bisa mengamankan kapal-kapalnya dari serangan bajak laut. Memasuki abad ke-18, perlawanan dari raja-raja Sulawesi Tengah mulai meningkat, akan tetapi perlawanan itu bisa dipadamkan. VOC bahkan meminta pada raja-raja itu agar bersumpah setia kepada mereka.
Belanda dengan VOC-nya telah menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah dan dengan mudah mengontrol perdagangan di wilayah tersebut. Perjanjian “lang contract” dan “korte verklaring”, semakin menegaskan kekuasaan Kolonial belanda di tanah Sulawesi. Bagi wilayah yang membangkang Belanda tidak segan-segan menumpasnya dengan kekuatan senjata mereka. Kendati demikian, perlawanan demi perlawanan tetap berkobar di beberapa wilayah.
Perlawanan dari rakyat mencapai puncaknya pada tahuan 1942. Dipimpin I.D Awuy, akhirnya wilayah Sulawesi Tengah kemudian bisa terbebas dari kekuasaan VOC.
Pada tanggal 15 Mei 1942, Jepang berhasil mendarat di Luwuk, dalam waktu singkat wilayah Sulawesi Tengah itupun berhasil dikuasai. Kekuasaan Jepang di Sulawesi tidak berlangsung lama. Jepang menyerah kepada Sekutu  kemudian disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Secara De Jure kekuasaan dari kerajaan Banggai telah berakhir di tahun 1952 karena adannya Peraturan pemerintah Indonesia tanggal 12 Agustus 1952 ( PP No. 33 tahun 1952) Tentang Penghapusan Daerah Otonom Federasi Kerajaan Banggai. Pada tanggal 4 Juli 1959 (Undang-Undang No 29 Tahun 1959) wilayah kekuasaan Ke­rajaan Banggai ini secara resmi telah menjadi Daerah Swantara (setingkat ka­bupaten) dengan nama “Daerah Tingkat II Banggai” dengan pemerintahannya berada di Luwuk.