Thursday, March 3, 2016

Datuk karama

datuk karama

Datuk Karama atau Syekh Abdullah Raqie adalah seorang ulama Minangkabau yang pertama kali menyebarkan agama Islam ke Tanah Kaili atau Bumi Tadulako, Sulawesi Tengah pada abad ke-17 Awal kedatangan Syekh Abdullah Raqie atau Datuk Karama di Tanah Kaili bermula di Kampung Lere, Lembah Palu (Sulawesi Tengah) pada masa Raja Kabonena, Ipue Nyidi memerintah di wilayah Palu. Selanjutnya Datuk Karama melakukan syiar Islam-nya ke wilayah-wilayah lainnya di lembah Palu yang dihuni oleh masyarakat Suku Kaili. Wilayah-wilayah tersebut meliputi Palu, Donggala, Kulawi, Parigi dan daerah Ampana.

Syiar Islam


Kedatangan Dato Karama di Lembah Palu disambut dengan baik oleh masyarakat Lembah Palu bahkan kedatangannya disambut oleh dua bangsawan Lembah Palu saat Itu yaitu Parasila atau Pue Njidi dan I Moili atau Pue Bongo. Parasila atau Pue Njidi merupakan raja Kabonena. Pue Njidi dan Pue Bongo kemudian memeluk Islam diikuti oleh masyarakat Lembah Palu. Metode syiar Dato Karama menurut penelusuran beberapa literatur diketahui menggunakan pola yang sama dengan yang digunakan di Kesultanan Aceh. Hal ini dilihat dari kenyataan bahwa Dato Karama merupakan utusan Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh untuk mengislamkan masyarakat di Pulau Sulawesi bersama dengan Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Bandang. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Dato Karama berpusat pada sebuah mesjid yang didirikan atas dukungan masyarakat (penduduk) di sekitar masjid tersebut. Masjid ini diberi nama masjid Jami dan berada di wilayah kelurahan Kampung Baru sekarang.

Selain itu, di wilayah bagian timur Sulawesi Tengah, dimulai dari Moutong, Tomini, Tinombo, Sigenti, Kasimbar, Parigi, Sausu, Tojo, Una-una, Kepulauan Togean, hingga Bungku, penyebaran Islam dilakukan oleh orang-orang Ternate pada masa pemerintahan Sultan Khairun (1550-1570). Tahun 1563, Sultan Khairun bermaksud mengislamkan Sulawesi Utara, Gorontalo, Mooeton (Moutong), Tomini, Tinombo, Soegenti, Kasimbar, Parigi, Saosoe, Todjo, Ampana, serta Kepulauan Una-una dan Togean. Namun maksud tersebut mengalami hambatan yang dilakukan oleh tentara Portugis ketika mengirimkan seorang Misionaris yang bernama Peter Magelhaens. Sultan selanjutnya yaitu Sultan Baabullah yang berkuasa antara 1570-1580, berhasil membangun kekuatan maritim mampu menguasai wilayah Sulawesi dan Kepulauan Philipina.

Orang yang menyebarkan Islam di daerah Bungku yang datang dari Ternate bernama Syekh Maulana atau Datu Maulana Bajo Johar. Sedangkan yang menganut agama Islam pertama adalah Raja Bungku yang pertama, bernama Sangia Kinambuku. Di Kerajaan Tojo, proses pengislaman dilakukan oleh para mubaligh dari Ternate dengan cara dari rumah ke rumah juga dibantu oleh imam lokal yang sangat gigih yaitu Pabemba (Imam Tua), Bunae, Langke Mawo, dan Mangge Moho.

Tidak ada uraian yang jelas dan pasti dari cerita rakyat bahkan dalam oral history tentang tahun masuknya penyebar islam dari wilayah Ternate ke Tojo, Una-una, namun dari beberapa informan menjelaskan bahwa islam masuk di wilayah Tojo Una-Una yang berasal dari Ternate sekitar abad ke XVII dan memiliki pengaruh yang cukup kuat. Penyebaran Islam dengan perkawinan antara anak sultan Ternate dengan seorang wanita kampung Bongka bernama Indo Bontomu, dari hasil perkawinan ini melahirkan anak bernama Nursiva. Adanya perkawinan antara anak Sultan Ternate dengan Indo Bontomu menunjukkan adanya pengaruh Islam Ternate yang masuk di wilayah Tojo Una-Una melalui perkawinan.

Namun dari beberapa sumber lokal dan tradisi lisan masyarakat Tojo, bahwa Islam masuk di wilayah Tojo diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Bugis yang berasal dari kerajaan Bone sekitar abad XVI. Di wilayah kerajaan Tojo Una-una disebarkan oleh pedagang Bugis yang bernama Andi Baso dari turunan bangsawan Bugis, istrinya bernama Fatimah yang berasal dari turunan bangsawan Bone. Andi Baso bersaudara dengan Andi Lao Matiro (Bapak Pilewiti), berarti Andi Baso sebagai penyebar Islam di Tojo bersaudara dengan Pilewiti. Sudah dapat dipastikan dari namanya saja dengan gelarannya “Andi” berasal dari Bugis. Andi Baso digelari dengan nama Andre Guru atau Andre Guru ri Tojo artinya orang yang kuasai agama islam yang berada di Tojo. Islam sudah mulai masuk di Tojo dengan dibawa oleh Andre Guru tersebut.

Selanjutnya Islam tersebar dan dikembangkan oleh anaknya yang bernama Andi Lasupu yang lahir Tahun 1745 di Kajuara (Bone). Sedangkan pengenalan Islam diwilayah pedalaman (Vorstelanden) seperti Podi, Marowo, Betaua, Uekuli dilakukan setelah kedatangan Belanda sekitar abad XIX dan awal abad XX, yang dilakukan oleh pedagang-pedagang Islam dari Sulawesi Selatan. Mereka umumnya berasal dari Bugis Makassar seperti di Tojo setelah Andre Guru dan La Supu juga ada Silado La Tajang (1940), dan di Mire penyebar Islamnya adalah Balili.

Pada masa itu juga, orang-orang Bugis, Makassar, dan Mandar melakukan penyebaran agama Islam di wilayah Sulawesi Tengah. Menurut riwayatnya bahwa yang melakukan penyebaran agama Islam di Sulawesi Tengah dilakukan oleh Pue Bulangisi (Daeng Kondang menyebarkan Islam di Tavaeli, Pua Karikati menyebarkan Islam di Toribulu. Demikian juga Datuk Mangaji mengislamkan Raja Parigi yang bernama Magau Tori Kota dan putranya yang bernama Magau Janggo atau yang bernama Ma’ruf).
Di Banggai, Adi Cokro tercatat sebagai orang yang memasukkan agama Islam. Hal tersebut sebagaimana ditulis Albert C. Kruyt dalam bukunya De Vorsten Van Banggai ( Raja-raja Banggai). Adi Cokro bergelar Mumbu Doi Jawa, yang dalam dialeg orang Banggai disebut Adi Soko, mempersunting seorang wanita asal Ternate berdarah Portugis bernama Kastellia ( Kastella). Perkawinan Adi dengan Kastellia melahirkan putra bernama Mandapar yang kemudian menjadi Raja Banggai. Istilah " Adi" merupakan gelar bangsawan bagi raja-raja Banggai, hal tersebut sama dengan gelar RM ( Raden Mas) untuk bangsawan Jawa atau Andi bagi bangsawan Bugis.

Kerajaan Sojol, telah memeluk Islam sebelum kedatangan Guru Tua. Dalam bukunya, Sojol Melawan Belanda, Sofjan B. Kambay bahkan mencatat bahwa Raja Sojol, Ologian Kaleolangi, adalah seorang muslim yang taat, yang menjadikan syariat Islam sebagai undang-undang kerajaannya sekaligus media untuk mengobarkan semangat melawan imperialisme kolonial dalam peperangan di tahun 1903-1905. Demikian juga dengan anak Ologian Kaleolangi, Singalam, merupakan juru dakwah yang aktif menyebarkan ajaran Islam di kawasan Tinombo dan sekitarnya. Konon, ia memperdalam ajaran Islam, khususnya tasawuf, dari Syaikh Ibrahmin di Sibolga, Sumatera Utara, ketika menjalani masa pengasingan selama 14 tahun. Tetapi, sejauh apa dampak dari pengaruh tasawuf ajaran Syaikh Ibrahim bagi masyarakat muslim di Kecamatan Sojol dan di tengah masyarakat suku Lauje di Tinombo, belum ada literatur yang mengetengahkan hal tersebut.

Tantangan utama pada periode ini adalah kepercayaan lama berupa sistem kepercayaan tradisionalistik. Kepercayaan yang menjadi penghalang utama agama Islam adalah kepercayaan Lamoa di Poso, Karampue Langi dan Karampue Ntana (Kepercayaan Penguasa Langit dan Penguasa Tanah), Kepercayaan Wentira (Kepercayaan Tarapotina, Topepa, Buntulovo, Tauta, Divo, Tampilangi, Diava), kepercayaan gaib dari manusia yang hilang seperti Tauleru dan Talivarani, kepercayaan tentang doti (doti pontiala/lembek kepala, doti jori/lumpuh, doti apu/kulit terkelupas, doti butiti/perut kembung dan semacamnya).

Jika melihat pada penulisan sejarah tentang Islam di Sulawesi Tengah, umumnya, penulisan sejarah tentang perkembangan Islam hanya berkutat pada dua tokoh, yaitu Datokarama dan Guru Tua. Penulisan sejarah tentang kedua tokoh ini pun ternyata tidak berbanding lurus. Tidak seperti Guru Tua, yang telah banyak sumber dari beragam perspektif yang mengulas tentang sejarahnya, penulisan mengenai sejarah Datokarama tampaknya masih minim sehingga wajar bila di antara kita yang hanya mengetahui Datokarama sebagai nama sebuah perguruan tinggi di kota Palu. Datokarama yang nama aslinya adalah Abdullah Raqie, merupakan mubaligh yang menyebarkan islam di daerah lembah Palu. Beliau dating dari Minangkabau pada tahun yang nyaris bersamaan dengan kedatangan Datuk Ribandang di Sulawesi Selatan pada tahun 1603 M.

Problem diskontinuitas sejarah dalam historiografi Islam di Sulawesi Tengah semakin jelas terlihat khususnya jika kita memperhatikan selisih tahun kedatangan antara Datokarama dan Guru Tua yang terpaut lebih dari tiga abad. Dari selisih ini, dan mengingat tidak adanya penulisan sejarah yang mendalam mengenai perkembangan Islam pada masa di antara kedua tokoh tersebut, muncul hipotesis di sekitar kita bahwa perkembangan Islam di Sulawesi Tengah mengalami kevakuman pasca Datokarama, di mana kevakuman ini baru berakhir saat kedatangan Guru Tua di tahun 1929.

Tetapi jika kita melihat lebih seksama sumber-sumber sejarah tentang perkembangan Islam di Sulawesi Tengah, kita dapat melihat bahwa dalam periode antara Datokarama dan Guru Tua tersebut, Islam dikembangkan oleh para mubaligh maupun pedagang yang berasal dari Mandar, Bugis, dan Makassar seperti Pilewiti di Tojo dan Pue Bulangisi di Tawaeli. Kedatangan para mubaligh dan pedagang dari Mandar, Bugis dan Makassar ini merupakan awal periode Ideologis dalam perkembangan Islam di Sulawesi Tengah. Sampai saat ini, kita masih melihat pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat islam Sulawesi Tengah seperti, model mengaji huruf ugi, barasanji, dan yang utama adalah eksistensi kebudayaan “selatan” yang mengalami akulturasi dengan budaya Sulawesi Tengah.

Sulawesi Tengah masih menyimpan banyak misteri sejarah yang sampai saat ini belum terungkap dengan jelas. Hal ini menjadi tugas para akademisi terutama sejarawan dan mahasiswa sejarah untuk menuliskannya sebagai sebuah upaya menjadikan masyarakat Sulawesi Tengah sadar dan peduli dengan sejarah lokalnya. Tetapi melestarikan sejarah melalui penulisan sejarah tidaklah cukup. Perlu ada peran serta masyarakat dalam melestarikan sejarah lokal Sulawesi tengah melalui oral tradition (tradisi bertutur) yang sudah semakin hilang dan perlunya sejarah lokal Sulawesi Tengah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dasar sebagai upaya pengenalan sejak dini terhadap sejarah lokal Sulawesi Tengah sehingga generasi muda Sulawesi Tengah tidak menjadi generasi yang “amnesia sejarah”
Wafat 

Datuk Karama meninggal pada Abad 17 di Kampung Lere, Palu, Sulawesi Tengah. Jasad Datuk Karama dimakamkan di Kampung Lere, Palu (Kota Palu sekarang). Makam Syekh Abdullah Raqie atau Datuk Karama kemudian hari menjadi Kompleks Makam Dato Karama dan berisi makam istrinya yang bernama Intje Dille dan dua orang anaknya yang bernama Intje Dongko dan Intje Saribanu serta makam para pengikut setianya yang terdiri dari 9 makam laki-laki, 11 makam wanita, serta 2 makam yang tidak ada keterangan di batu nisannya.

Selanjutnya makam Datuk Karama dibenahi dengan kontruksi rumah Gadang khas Minang dan dijadikan sebagai cagar budaya sekaligus obyek wisata religi oleh Pemkot Palu dan dijaga oleh sekeluarga juru kunci, yakni Aziz Muhammad bersama keluarganya.

Menurut turunan Datuk Karama, beliaulah orang yang pertama membuka jalan raya Palu-Parigi di waktu Zaman Belanda.

Untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa Datuk Karama di Palu, Pemkot Palu menamai salah satu perguruan tinggi di Palu, yakni IAIN dengan nama IAIN Datuk Karama Palu.

Masih banyak juga peninggalam Datuk Karama yang hingga saat ini masih digunakan warga Palu, salah satunya adalah alat musik tradisional Suku Kaili yang disebut Kakula, itu sama dengan alat musik tradisonal Talempong di Minangkabau.

Sumber

https://id.wikipedia.org/wiki/Datuk_Karama

No comments: